Teuku
Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya bernama Achmad
Mahmud yang berasal dan keturunan Uleebalang Meulaboh. Nenek moyang Umar
berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Nachudum Sakti. Salah seorang
keturunan Datuk Nachudum Sakti pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada
waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya.
Berkat jasa Panglima keturunan Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari
bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu kemudian diangkat menjadi Uleebalang
6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang kemudian mempunyai dua orang putra
yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. (Mardanas Safwan: 1981 : 34).
Sepeninggal
Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang
6 Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhin. Ahmad Mahmud kawin
dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu ia memperoleh dua
orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak laki-lakinya,
salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar dan Cut Nyak Dhien merupakan saudara
sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau, darah seorang Datuk yang
merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya. (Hazil, 1955 : 48).
Baik Umar maupun Cut Nyak Dhien pada masa kecilnya tidak pemah
bertemu, mereka hanya mengenal nama masing-masing. Ketika masih kecil, Umar
merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat cerdas. Sebagai anak
nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam perkelahian,
ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan
keunggulan di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala
Kelompok anak-anak di kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar
semakin disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawannya bermain. Setelah berumur
10 tahun, ia memisahkan diri dari kehidupan orang tuanya, mengembara di rimba
Aceh dan bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari pengalaman
hidup dan berguru. Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la
pandai dan gemar bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu
dalam masyarakat.
Jiwa kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa
kemerdekaan yang meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus
pada tahun 1873, Umar baru berumur 19 tahun. la belum ikut pada perang ini,
karena umurnya masih sangat muda dan jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu
la sudah diangkat menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh. Ketika berumur 20
tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. la semakin
dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah
dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya,
Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV
Mukim. Mulai saat itu Umar
memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan
Belanda (Mardanas Safwan, 1981 : 35).
Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah seperti
pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang
cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang
diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke daerah lain dan berguru pada
orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan
mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari
petualangannya. Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman
bangsa asing (Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih.
Berkat ketekunan dan kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil
membentuk pasukan. Orang-orang yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan
direkrut menjadi pasukan yang siap tempur.
Setelah Teuku lbrahim Lamnga gugur dalam perang melawan Belanda
pada tahun 1878, istrinya (Cut Nyak Dhien) menjadi janda. Selama Cut Nyak Dhien
menjanda, selalu mendapat perhatian khusus dari Teuku Umar. Yang menarik
baginya bukanlah kecantikannya tetapi sifat keprajuritan yang ada dalam diri
Cut Nyak Dhien. Ia mempunyai sifat keprajuritan, disiplin, dan keras hati,
serta mencintai kemerdekaan Aceh. Wanita seperti Cut Nyak Dhien sangat tepat
menjadi istri seorang pejuang. Dari sifat-sifat yang menarik hatinya itulah,
diam-diam Teuku Umar jatuh cinta pada Cut Nyak Dhien. Seperti kata pepatah,
“gayung bersambut” akhirnya
cinta Umar dibalas dengan perasaan yang sama oleh Cut Nyak Dhien.
Pada waktu Ibrahim Lamnga masih hidup, Cut Nyak Dhien dengan setia
membantu perjuangan suaminya. la sanggup berkorban apa saja demi perjuangan
suaminya. Itulah yang menarik hati Teuku Umar. Setelah cintanya diterima dengan
senang hati, Umar melamar Cut Nyak Dhien dan dalam tahun 1878 keduanya
melangsungkan upacara perkawinan di Montasik. (H.M. Zainuddin et. al., 1972 :
4).
Dengan demikian, Umar telah menikah untuk yang ketiga kalinya. Ketiga
istrinya adalah sama-sama wanita bangsawan dan sama-sama keturunan Uleebalang.
Dari perkawinan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien lahirlah anak perempuan yang
diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir jauh dari kampung halamannya karena ia
harus lahir di tempat pengungsian. Ketika itu ayahnya (Umar) sedang memimpin
pertempuran melawan Belanda. Di tempat pengungsian Umar berjanji pada anaknya
bahwa pada suatu saat nanti ia akan mengantarkan anak dan istrinya kembali ke
rumahnya di Montasik, karena hak milik yang dikuasai Belanda ini harus direbut
kembali. Dengan suara kecil ia berbisik pada anaknya, bahwa kalau seandainya
engkau kembali ke daerah 6 Mukim, engkau akan menjadi Hulubalang 6 Mukim.
Dengan tersenyum dan suara kecil Teuku Umar melanjutkan pula berkata kepada
istrinya, bahwa engkau akan menuntut pula sebagai Panglima Sagie 26 Mukim
apabila Panglima Sagi yang sekarang meninggal dunia. (Hazil, 1955 : 59).
Peranan Teuku Umar Pada Permulaan Perang
Pada tahun 1871 Inggris dan Belanda bertemu dalam Traktat
Sumatera. Dalam Traktat tersebut disebutkan bahwa Belanda bebas bergerak dan
mengadakan perluasan wilayah di Aceh. Rakyat Aceh marah mengetahui perjanjian
tersebut. Kemarahan itu sebenarnya sudah lama terasa setelah melihat gelagat
dan gerak-gerik Belanda di Sumatera yang merugikan Aceh telah terbaca sejak
tahun 1857. Pada tahun itu Belanda menduduki Siak yang merupakan daerah
taklukan Aceh. Setelah lahir Traktat Sumatra tahun 1871, rakyat Aceh semakin
meluap-luap marahnya.
Pada tanggal 5 April 1873, Belanda dengan kekuatan 3000 orang
tentara menyerang Kerajaan Aceh Darussalam dan berhasil menduduki Mesjid Raya
Baiturrahman. Namun dapat direbut kembali oleh pejuang Aceh setelah Panglima
tentara Belanda Mayor Jenderal JHR. Kohler ditembak mati oleh pejuang Aceh pada
tanggal 14 April 1873. Dengan tewasnya JHR. Kohler, penyerbuan tidak
diteruskan. Seluruh pasukan Belanda yang ada di Aceh akhirnya ditarik kembali.
(Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 246).
Pada bulan Nopember tahun 1873 dikirimlah ekspedisi kedua yang
dipimpin oleh Van Swieten dengan tentara sebanyak 13.000 orang. Serbuan kali
ini berhasil menduduki Mesjid Raya Baiturrahman. Sebelum Istana Raja oleh
pasukan diserbu Belanda, Sultan dan seluruh penghuninya telah diungsikan. Dalam
pengungsiannya, Sultan terserang penyakit kolera dan akhirnya meninggal. Para
pengikutnya memindahkan tempat pengungsiannya sampai jauh ke pedalaman Aceh
Besar. Dalam perangnya melawan gerilyawan Aceh, Belanda menggunakan strategi
menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Hal ini terjadi juga dengan adanya
raja-raja daerah pantai yang menyatakan tunduk pada Pemerintah Kolonial
Belanda. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 387).
Waktu Jenderal Van Der Heiden menggantikan Jenderal Pel, mulailah
diadakan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII. Panglima Polem
terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Melihat tentara Aceh terus terdesak
oleh ofensif pasukan Belanda, Teuku Umar mulai bekerja keras. la menghubungi
para pemuda Aceh untuk diajak bersama-sama berjuang melawan Belanda. Umar juga
menjelaskan pada para pemuda Aceh bahwa mempertahankan tanah air dan tanah
tumpah darah dari serangan musuh adalah kewajiban setiap orang Aceh terhadap
Tuhannya. Artinya, barang siapa yang tidak mau mengusir atau melawan penjajah,
maka orang itu akan mendapat hukuman dari Tuhan, sebab tanah tumpah darah itu
sebagai karunia Tuhan kepada manusia yang harus dipelihara dengan
sebaik-baiknya dan dilarang orang menyerahkan kepada bangsa Asing. Milik Aceh
adalah untuk rakyat Aceh. Demikian cara Teuku Umar menggugah semangat
perjuangan para pemuda Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan cara
demikian Teuku Umar berhasil merekrut sejumlah besar tentara pejuang yang
berani mati.
Nama Teuku Umar mulai menjadi buah bibir dan terkenal di seluruh
lapisan masyarakat. Di samping itu juga memberikan latihan-latihan perang
gerilya kepada calon-calon prajurit. la juga sibuk menghubungi para pemimpin
rakyat lainnya untuk diajak berunding mengatur siasat perjuangan. Ia menentukan
satu orang saja yang akan dijadikan pemimpin mereka dan kemudian menentukan
pula waktu peperangan akan dilancarkan. Perundingan antara semua pemimpin perjuangan kemerdekaan itu sepakat untuk
mengangkat Nanta Setia sebagai pemimpin tertinggi perjuangan kemerdekaan.
(Achmad Effendi, 1975 : 28).
Perang akan dikobarkan di daerah 6 Mukim dalam tahun 1873. Teuku
Umar yang waktu itu baru berumur 19 tahun, sebelum berangkat ke medan perang
terlebih dahulu berpamitan pada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya
meneteskan air mata haru bercampur bangga bahwa Teuku Umar telah berikrar
bersama rakyat mengusir penjajah Belanda di Aceh dan berjuang sampai titik
darah penghabisan. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).
Pada waktu perang berkobar, prajurit-prajurit Aceh sangat
bersemangat, walaupun persenjataanya sangat sederhana dibandingkan dengan
prajurit Belanda, namun mereka dapat mendatangkan korban yang besar di pihak
lawan. Kesemua itu dapat terjadi karena antara lain disebabkan tentara Aceh
mahir bertempur secara gerilya dan hidup di hutan belantara yang sudah mereka
kuasai medannya. Berdasarkan pengalaman selama pertempuran itu Belanda kemudian
menyadari bahwa untuk dapat mengalahkan tentara Aceh, maka harus memiliki
kemahiran bertempur dihutan belantara dan mendatangkan bala bantuan dari
Batavia lengkap dengan persenjataan serta perlengkapan perang lainnya. (Mawarti
Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 427).
Setelah pasukannya diperkuat dan bala bantuan dari Batavia
didatangkan, Belanda dapat menimbulkan korban yang lebih besar di pihak Aceh.
(Achmad Effendi, 1975 : 34). Mulai saat itulah Aceh mengalami kekalahan besar,
terlebih ketika Teuku Ibrahim Lamnga gugur terbunuh oleh tentara Belanda pada
tanggal 29 Juni 1878 di daerah Gunung Param. (Ahmad Effendi, 1975 : 35).
Jenasahnya dimakamkan di Montasik Aceh Besar. Seluruh tentara Aceh berkabung
akibat kematian Teuku Ibrahim Lamnga itu.
Tetapi yang paling sedih adalah Nanta Setia dan Cut Nyak Dhien.
Kekalahan tentara Aceh pada waktu itu menjadi perhatian Teuku Umar. la berfikir
keras untuk mendapatkan pelajaran dari kekalahan itu bagi perjuangan tentara
Aceh selanjutnya. Akhirnya Umar dapat mengetahui bahwa sumber utama kekalahan
adalah di bidang persenjataan. Belanda dapat mengalahkan tentara Aceh karena
Belanda memiliki senjata yang lebih baik dan lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan yang dimiliki tentara Aceh. Sehubungan dengan itu Teuku
Umar kemudian menetapkan bahwa dalam peperangan mempertahakan kemerdekaan, maka
rakyat dan tentara Aceh harus dapat merebut senjata dan perbekalan yang banyak
dari tangan musuh, walaupun harus menghalalkan segala cara. Tetapi bagaimanakah
hal itu dapat terjadi? Itulah yang selalu menjadi bahan pemikiran Teuku Umar
setiap hari. Pada waktu diadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pejuang
lainnya, Teuku Umar mengajukan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Cara
itu kemudian mendapat persetujuan dari para pemimpin yang hadir la telah
menentukan suatu siasat, tetapi siasat itu sifatnya sangat rahasia dan hanya
pemimpin-pemimpin pejuang tertentu saja yang boleh tahu.
Teuku Umar Memimpin Perlawanan Dengan Berbagai Siasat
Pada tahun 1883 di Aceh terjadi suatu peristiwa yang sangat
menggemparkan, yaitu berita mengenai Teuku Umar menyerahan diri dan memihak
kepada Belanda. (Rusdi Sufi, 1994: 88). Rakyat Aceh marah dan banyak yang
mengutuk sebagai pengkhianat diantara mereka ada pula yang menghendaki agar
Teuku Umar dibunuh oleh rakyat sendiri. Sementara itu, Belanda sangat gembira
menerima penyerahan diri Teuku Umar. Dengan menyerahnya Teuku Umar, Belanda
berharap dapat dengan mudah menaklukkan seluruh rakyat Aceh. Setelah
menyerahkan diri, maka Umar mendapat kepercayaan dari Belanda. Ia diserahi
tugas yang penting-penting untuk melaksanakan keinginan Belanda menumpas
perlawanan rakyat Aceh. Pada mulanya tugas yang diberikan kepada Teuku Umar
adalah melatih tentara Belanda bertempur di hutan belantara dan mengajarkan
teknik perang gerilya.
Teuku Umar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetapi di dalam
hatinya ia memegang teguh siasat perang yang telah ditetapkan bersama dengan
para pemimpin pejuang Aceh beberapa waktu sebelumnya. Selesai melatih perang
gerilya di hutan belantara, Teuku Umar ditugaskan memimpin penumpasan
perlawanan rakyat Aceh. Dalam pertempuran itu memang banyak korban jatuh di
kedua belah pihak, tetapi tentara Belanda banyak yang mati dan senjatanya
banyak yang berhasil dirampas tentara Aceh. Tentara Aceh hanya sebentar saja
mampu melawan serangan tentara Belanda dan kemudian mereka mundur meninggalkan
benteng pertahanannya. Apalagi tentara Aceh hanya berpura-pura saja berperang
melawan tentara Umar. Demikian juga sebaliknya Umar juga berpura-pura menyerang
Aceh. Karena tidak tahu siasat Umar, Belanda gembira menyaksikan mundurnya tentara
Aceh itu. Belanda menganggap dengan bantuan Umar, mereka dapat mematahkan
seluruh perlawanan Aceh. Untuk itu, Umar mendapat hadiah besar berupa uang dan
materi lainnya yang berguna untuk menambah modal perang tentara Aceh yang
dikirim secara rahasia. Ketika sebuah kapal Inggris yang bernama “Nicero”
terdampar dan dirampas oleh raja Teunom, kapten dan awak kapalnya disandera.
Raja Teunom menuntut kepada pemilik kapal, bahwa sandera akan dibebaskan jika
pemilik kapal sanggup menebusnya dengan uang tunai sebesar 10.000 dolar. Oleh
Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal
tersebut. Pembebasan kapal milik Inggris ini harus dilakukan pihak Belanda
karena perampasan kapal tersebut telah mengakibatkan ketegangan hubungan antara
Inggris dengan Belanda.
Pada waktu menerima tugas tersebut Teuku Umar menyatakan bahwa
merebut Kapal “Nicero” dari raja Teunom merupakan pekerjaan yang berat sebab
tentara Raja Teunom sangat kuat, wajarlah kalau Inggris sendiri tidak dapat
merebut kembali kapal tersebut. Namun ia sendiri dengan pasukan Belanda yang
dipimpinnya sanggup merebut kembali kapal itu asal ia diberi perbekalan dan
persenjataan yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Setelah memperoleh perbekalan perang yang cukup banyak, berangkatlah Teuku Umar
dengan kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan
beberapa orang panglimanya. Beberapa waktu setelah upacara pemberangkatan
tersebut, kalangan Belanda dikejutkan oleh sebuah berita yang menyatakan bahwa
semua tentara Belanda yang ditugaskan untuk merebut kembali kapal “Nicero”
telah dibunuh di tengah laut oleh Teuku Umar bersama anak buahnya. Seluruh
senjata dan amunisi beserta perlengkapan perang lainnya dirampas. (H.M.
Zainuddin, 1972 : 5).
Sejak saat itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk
melawan Belanda. Selain itu, Teuku Umar menyarankan Raja Teunom supaya jangan
sekali-kali mau mengurangi tuntutannya. Kalangan Belanda menjadi goncang akibat
siasat Teuku Umar itu. Belanda sangat marah terhadapnya. Sejak saat itu
Pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan bahwa Belanda akan membayar upah
senilai 25.000 dolar kepada siapa saja yang sanggup menculik Umar dan
membawanya ke Banda Aceh hidup atau mati. Efek pengumuman ini di kalangan rakyat
tidak ada sama sekali, karena memang tidak ada yang berani berbuat demikian
sebab telah diperhitungkan tidak akan berhasil.(Moehammad Said, 1985 : 228).
Mengenai kapal “Nicero”, Belanda terpaksa menerima tuntutan Raja
Teunom untuk membayar pembebasan sandera sebesar 10.000 dolar. Setelah menerima
uang sebesar tuntutannya, maka pada tanggal 10 September 1884 Raja Teunom menyerahkan 18 orang awak kapal “Nicero” yang masih hidup. la
berbesar hati karena dapat menggegerkan negara-negara besar dengan peristiwa
tersebut. (Moehammad Said, 1985: 229).
Sementara itu Teuku Umar yang telah
kembali ke pihak Aceh menerima sambutan hangat dari seluruh rakyat. Semua
senjata hasil rampasan segera dibagi-bagikan kepada tentara Aceh. Sejak saat
itu, Teuku Umar memimpin perlawanan rakyat menentang Belanda. Serangan pasukan
Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar berhasil dengan gemilang merebut daerah 6
Mukim dari tangan Belanda. Sejak saat itu Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku
Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang. (Achmad Effendi, 1975
: 43-44). Kemudian rumah Teuku Umar di Lampisang tersebut dijadikan markas
besar bagi para pejuang kemerdekaan Aceh. Pada suatu pertemuan antara para
pemipin pejuang di bawah pimpinan Teuku Umar dapat dicapai keputusan penting
untuk memperkuat persenjataan. Untuk keperluan tersebut, tentara Aceh harus
dapat merebut senjata Belanda dengan cara apa saja. Kendatipun juga harus
diusahakan dengan mendatangkan senjata gelap dari para penyelundup yang sanggup
menembus blokade di seputar perairan Aceh.
Mengingat penjagaan pantai seputar Aceh dan Selat Malaka yang
dilakukan oleh kapal-kapal perang Belanda tidak cukup banyak, maka perdagangan
senjata gelap masih dapat lolos dari pengawasan. Dua tahun setelah peristiwa
terjadinya kapal “Nicero” yang merupakan pukulan berat bagi Belanda, tentara
Teuku Umar kembali membuat kegoncangan di kalangan Belanda. Pada saat-saat
perang yang tidak menentu, ada petualang yang ingin menangguk di air keruh.
Petualangan ini dilakukan oleh Kapten Hansen seorang warga negara Denmark yang
membawa kapal “Hok Kanton”. Kapal ini dengan izin Belanda boleh mondar-mandir
di perairan Aceh terutama antara Rigaih, Uleulheu dan Penang. (Moehammad Said,
1985 : 184).
Walaupun pengawasan Belanda ketat, tetapi Hansen pandai
menyelundupkan senjata yang dipesan Aceh. Pada tanggal 12 Juni 1886, kapal “Hok
Canton” berangkat ke Ruegaih. Turut pula sebagai penumpang Kapten Roura,
katanya untuk mengambil kapal “The Eagle” yang kebetulan berlabuh di Ruegaih.
Hansen sebenarnya hendak menjebak Umar untuk naik ke kapalnya di Pelabuhan
Ruegaih, menculiknya untuk selanjutnya tanpa membayar lada yang bakal dimuat,
mengangkutnya ke Uleulheu menyerahkannya kepada Belanda dan lalu menerima
hadiah uang sebesar $ 25.000,-.
Setibanya di Reugaih tanggal 15 Juni 1886 Roura turun dan berjumpa
dengan Umar melapor apa yang dipesankan kepadanya. Teuku Umar tidak percaya
karena dia kenal betul siapa Roura dan siapa Hansen, keduanya saling konkurensi
keras. Keduanya di mata Teuku Umar setali tiga wang, ringgit dan rupiah, bandit
dan buaya. Dalam perundingan transaksi pembelian lada, Hansen mengemukakan
bahwa pembayaran lada akan dilangsungkan di kapal setelah lada dimuat. Muncul
rasa was-was dalam hati Teuku Umar. Setelah selesai pemuatan, Teaku Umar mengutus
orangnya untuk menerima pembayaran, tetapi datang kabar dari kapal mengatakan
bahwa Hansen ingin Teuku Umar datang sendiri. Sampai tiga kali utusan Teuku
Umar itu mondar-mandir di kapal, tetapi Hansen tetap teguh pada pendiriannya.
Akhirnya Teuku Umar berkesimpulan bahwa Hansen memang bermaksud ingin
menipunya. Malam itu juga Teuku Umar mengatur siasat untuk bertindak. Pagi dini
hari seorang Panglima Teuku Umar bersama 40 orang prajuritnya telah menyusup ke
kapal dan mengepung Hansen yang berada dalam kamar bersama istrinya. Hansen
tidak tahu kalau sebenarnya dirinya sudah dikepung. Teuku Umar segera menemui
Kapten Hansen menuntut pelunasan harga lada sebanyak $5.000,- sambil
menandaskan bahwa setiap keingkaran akan ditindak. Namun Hansen ingkar janji
sehingga terjadi perlawanan. Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkap
Teuku Umar, tetapi Teuku Umar tahu apa yang akan dilaksanakan Hansen, sehingga
Teuku Umar terlebih dahulu memberi isyarat pada anak buahnya untuk bertindak,
sehingga terjadilah perlawanan atau perkelahian antara anak buah dengan anak
buah Teuku Umar. Anak buah Hansen berhasil dilumpuhkan oleh 40 orang Prajurit
Umar. Hansen sendiri berusaha melarikan diri dan akhirnya ditembak mati. Nyonya
Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan 6 awak kapal Hok Canton
dilepas. (Moehammad Said, 1985 : 185-196).
Berita penyanderaan ini menggegerkan Belanda dan merupakan
pukulan keras bagi Pemerintah Kolonialnya. Tidak heran jika Belanda segera
mengambil tindakan keras. Beberapa kapal perang Belanda dikirim ke Reugaih dan
dipimpin sendiri oleh Gubernur Militer Jenderal Van Teijn untuk menghancurkan
Ruegaih. Tetapi Teuku Umar mengirim peringatan bahwa perbuatan demikian akan
sia-sia dan akan dibalas dengan hukuman mati bagi para tawanan Nyonya Hansen
dan John Fay. Takut akan ancaman itu, Belanda tidak jadi membom Kampung
Ruegaih, tetapi memerintahkan kapal-kapalnya pulang ke Uleulheu.
Teuku Umar memerintahkan kepada Panglimanya untuk membawa
tawanannya ke pedalaman agar mereka tidak lari atau diculik. Nyonya Hansen
diberi kesempatan menulis surat kepada Belanda bahwa ia dapat dilepas jika
ditebus sebanyak $ 40.000, dengan ketentuan bahwa persoalan tidak berekor lagi.
Setelah persoalannya berlarut-larut sampai 2 bulan, akhirnya tidak ada jalan
lain kecuali menerima tuntutan Umar. Pada akhir bulan September 1886
perundingan selesai. Uang tebusan disepakati sebanyak $ 25.000,- diserahkan
kepada Teuku Umar. Tanggal 6 Oktober 1886 Nyonya Hansen dan John Fay sudah
berada di Banda Aceh.
Peristiwa kapal Hok Canton memang sudah selesai, tetapi
menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda menjadi bertindak sangat hati-hati dan
selalu waspada dalam menghadapi perlawanan Aceh. Kekuatan Teuku Umar harus
diperhitungkan oleh Belanda sebab kekuatannya sudah sangat besar dan
menimbulkan banyak kerugian bagi Belanda. Pengaruh pribadi Teuku Umar terhadap
seluruh rakyatnya sangat besar, kunci kekalahan dan kemenangan rakyat Aceh
menurut Belanda sepenuhnya berada ditangan Teuku Umar. Belanda mulai memikirkan
cara baru untuk menundukkan rakyat Aceh. Penumpasan perlawanan rakyat dengan
jalan kekerasan dianggap tidak efisien. Jalan yang ditempuhnya itu sering kali
berbeda pendapat antara penguasa setempat dengan Batavia. Pada umumnya ada
kecenderungan menunggu dan defensif, tidak lain karena perang telah makan
banyak biaya.
Sejak tahun 1890, Snouck Hoergronje mempelajari masyarakat Aceh.
Berdasarkan studi itu, Snouck Hoergronje memberikan saran-saran kepada
Pemerintah Belanda agar menggempur semua pemimpin Aceh yang mengadakan
perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar di setiap segi
ditempatkan pasukan mobil. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 389). Strategi ini
didasarkan pada kesimpulan bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam secara
murni dan dipengaruhi oleh fanatisme ajaran agama yang menyatakan bahwa perang
sabil melawan kaum kafir itu mutlak perlu. Saran dari Snouck Hoergronje ini
berhasil menekan perjuangan rakyat setelah strategi itu benar-benar
dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1891 Teungku
Chik Di Tiro dan Panglima Polem gugur dalam pertempuran. Namun perlawanan tak
Pernah berakhir, Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pusing. Biaya perang
membengkak menjadi $ 135.000.000,-. Untuk mengatasi ini Pemerintah di Istana Buitenzorg
mengangkat Deykerhooff menjadi Gubernur Militer di Aceh untuk mengamankan
daerah yang sulit ditundukkan itu. Setelah menjadi Gubernur di Aceh Deykerhooff
berusaha untuk mendekati kaum bangsawan dan Uleebalang karena mereka dipandang
sebagai pemberi dana perang kepada tentara Aceh. Siasat ini berhasil mendorong
Teuku Umar berubah pendapat untuk berpihak kepada Belanda. Justru setelah
adanya maklumat Pemerintah di Batavia yang akan mengampuni dan memberi hadiah
besar kepada Teuku Umar jika ia mau menyerahkan diri dan membantu Belanda.
Di lain pihak Teuku Umar sendiri merasa bahwa pertempuran ini
dianggap sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, Teuku Umar berpendapat
bahwa untuk memperbaiki nasib rakyat yang sangat menderita agar dapat bekerja
sebagaimana biasanya dan para petani dapat ke sawah lagi mengerjakan sawah
ladangnya, maka Teuku Umar perlu merubah taktik dengan cara menyerahkan diri
kepada Belanda. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada
Gubernur Deykerhooff di Banda Aceh bersama dengan 13 orang Panglima bawahannya,
setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan dari Gubernur Aceh
tersebut. Setelah bersumpah setia Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan
Pahlawan Panglima Besar Nederland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh
Belanda sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal seorang Panglima Besar
serta dilengkapi dengan 2 buah meriam kecil di halaman depan rumah. Sejak saat
itu, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa
buah bintang emas di dadanya. (Hazil, 1955 : 97).
Tugas-tugas yang harus dikerjakan yaitu menumpas perlawanan rakyat
dan mengamankan seluruh daerah Aceh. Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku
Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan
diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan saja dengan
mengorbankan kepentingan bangsanya. Sering terjadi percekcokan antara Umar dan
istrinya Cut Nyak Dhien. Untuk menghindari percekcokan itu Teuku Umar selalu
menghindarkan diri dari gugatan istrinya sehingga membuat Cut Nyak Dhien
menjadi heran dan tidak mengerti sikap suaminya yang demikian itu. Teuku Umar
menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap
pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan sangat menyenangkan.
Setiap ada panggilan dari Gubemur Belanda di Banda Aceh ia selalu menemui
dengan segera dan memberikan laporan yang memuaskan kepada Belanda, sehingga ia mendapat
kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda. Kepercayaan dan penghargaan
Belanda itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Teuku Umar untuk mencapai
maksudnya sendiri demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai
contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya
memerangi Uleebalang yang memeras rakyat yang dipimpin Teuku Mat Amin. Anggota
pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi
para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Setelah mendapat kepercayaan, Teuku Umar diberi tugas oleh
Belanda untuk mengamankan seluruh Aceh Besar. Untuk langkah pertama harus
diamankan daerah 26 Mukim. Teuku Umar dapat mengamankan daerah tersebut dengan
baik sehingga kepercayaan gubernur menjadi semakin besar. Hal ini menimbulkan
rasa iri hati dari tokoh-tokoh yang lebih dulu bekerjasama dengan Belanda,
seperti misalnya Teuku Nek Meuraxa dan Panglima Tibang. Di samping itu,
tokoh-tokoh perwira Belanda sendiri banyak yang tidak senang melihat Teuku Umar
mendapat kepercayaan dari atasannya. (H.M. Zainuddin, 1972: 6).
Sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti
baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara
tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh
teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial. (Anonim, 1995 :
74). Pada suatu hari di Lampisang Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang
dihadiri pemimpin-pemimpin pejuang Aceh yang akan membicarakan rencana Teuku
Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan
perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Pada hari itu Cut Nyak
Dhien baru mengetahui dengan pasti bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara
dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan
gaji yang diberikan Belanda pada waktu memihak Belanda secara diam-diam oleh
Teuku Umar dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangannya
dalam perang melawan Belanda.
Pada tanggal 30 September 1896, Teuku Umar dengan seluruh pasukannya
meninggalkan Belanda untuk selama-lamanya dengan membawa lari 800 pucuk
senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg mesiu, 5 ton timah, $ 18.000,- uang tunai
dan lain-lain alat militer yang berharga. Berita larinya Teuku Umar
menggemparkan Pemerintah Kolonial Beianda. Dan hal ini sudah diduga oleh Snouck
Hoergronje. la berpendapat Teuku Umar tidak pernah melepaskan sikapnya memusuhi
Belanda. Apabila Gubernur menaruh kepercayaan besar kepada Umar, itu menandakan
kebodohan Deyker Hooff dan kelicikan Teuku Umar. (H.C. Zentgraaff, 1982 : 257).
Teuku Umar tidak memihak kepada Belanda, tetapi ia menjalankan taktiknya yang
ternyata berhasil baik. Setelah mengalami kegagalan total politik damai mulai
ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Deykerhooff yang
bertanggungjawab atas larinya Teuku Umar dipecat dan digantikan oleh Jenderal
Vetter. (Hazil, 1955: 115-119). Jenderal Vetter mendapat tugas untuk memerangi
Teuku Umar. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa dengan 3 buah kapal
perang yang kemudian dihimpun di Uleulheu. Menurut Jenderal Vetter, Teuku Umar
harus diberi hukuman yang berat karena sangat merugikan Pemerintah Kolonial
Belanda dengan cara yang sulit dipahami. (T. Syahbuddin Razi, 1976. 163).
Sementara Belanda sibuk mempersiapkan diri, Teuku Umar tidak
tinggal diam. Ia menyusun kembali tentara Aceh yang cerai berai. Seluruh
komando dari perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimpinan Teuku Umar.
la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot. Teuku Umar
mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Barulah
pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu
komando, yaitu di bawah komando Teuku Umar. Teuku Umar mengerti bahwa ia harus
berjuang mati-matian melawan Van Heutsz, musuh lamanya. Dalam maklumatnya
Jenderal Vetter mengatakan bahwa Belanda hanya memerangi Teuku Umar dan bukan
rakyat 4 Mukim dan 6 Mukim. Semua benteng yang didirikan dulu untuk Gubernemen,
seperti Aneuk Galong, Seunelop, Lamkunyit, Bilul, Cot Rang dan Krueng Gelumpang
diledakkan dan ditinggalkan oleh Belanda.
Sejak memulai perang, Vetter mengajukan tuntutannya kepada Umar.
Ultimatumnya meminta segala senjata harus diserahkan kembali kepada Belanda.
Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu, maka pada tanggal 26 April 1896 Teuku
Johan Pahlawan dipecat sebagai Panglima Perang Besar dan Gubernemen Hindia
Belanda dan sebagai Hulubalang Leupong. Ultimatum Jenderal Vetter dan ancaman
Van Heutsz dibalas Teuku Umar dengan serbuan gencar sehingga perang berkobar
lagi. Mengingat kekuatan Belanda lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya,
maka barisan Aceh semakin menipis karena banyak yang gugur dalam pertempuran. Pada saat itu, Belanda terus menciptakan perangkap untuk menangkap Teuku Umar.
Namun usaha Belanda tersebut selalu gagal karena Teuku Umar juga ahli dalam
siasat perang. Melihat kelicinan dan kehebatan Teuku Umar, maka Gubernur
Belanda di Aceh Van Vliet melaporkan kepada Pemerintahnya sebagai berikut:
Meskipun Belanda bertindak terus menerus pihak Aceh tetap memberikan
perlawanan, Belanda belum dapat menguasai pemberontakan ini, malah api
pemberontakan tetap berkobar. Teuku Umar terus memberikan perlawanan yang
sengit dan Leupong, dan usaha untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati gagal
sama sekali. (Hazil, 1955 : 129).
Laporan Van Vliet ini memang sesuai dengan kenyataan karena biaya
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak sesuai dengan hasil yang
dicapai. Berdasarkan hasil penyelidikan intelijen pada awal tahun 1897, Belanda
mengetahui keberadaan Teuku Umar dan pasukannya di Loong. Dan segera dikirim
pasukan Belanda ke sana untuk menangkapnya. Ketika sampai di tempat yang
dituju, pasukan Umar telah menghindarkan diri ke lereng bukit dan menembaki
pasukan Belanda dari tempat itu. Tentara Belanda berusaha untuk merebut lereng
bukit itu, tetapi tidak berhasil. Sewaktu akan mundur, tentara Belanda kembali
dihadang oleh pasukan Aceh. Di beberapa tempat dipasangi ranjau sehingga banyak
meriam Belanda yang jatuh ke dalam lubang perangkap sehingga tentara Belanda
banyak yang tewas dan senjatanya dapat dirampas.
Walaupun akhirnya Loong ditinggalkan juga oleh pasukan Teuku Umar,
tetapi korban di pihak Belanda cukup besar. Pada tahun 1898 Teuku Umar sebagai
pimpinan perang Aceh membuat rencana peperangan di Pedir. Secara garis besar
rencana itu sebagai berikut :
1. Perang besar sedapat mungkin dihindarkan dengan tentara
Belanda.
2. Laskar akan bergerak di seluruh barat dan barat daya Aceh.
3. Tempat yang ditinggalkan Belanda harus diduduki dan dikuasai
untuk mengganggu dan melawan Belanda.
4. Perlawanan dilakukan secara gerilya dan memukul musuh dalam
keadaan mereka lengah.
Gerakan Teuku Umar dalam memimpin pasukan sangat cepat dan ia tak
dapat ditakuti meriam-meriam Belanda yang dibawanya karena Umar dengan mudah
dapat mundur ke daerah pegunungan yang berhutan lebat. Dengan demikian, Teuku
Umar dengan pasukan Belanda main sembunyi-sembunyian dalam permainan dengan
maut. Pada saat yang genting Umar selalu mendapatkan bantuan dari istrinya Cut
Nyak Dhien dan pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka merintis jalan di hutan
yang jarang dilalui manusia. Demi keselamatan prajuritnya, Teuku Umar melarang
anak buahnya mempergunakan api dan senapan agar tidak kelihatan oleh musuh.
(Hazil, 1955: 135).
Pada bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh
dengan tanpa pengawalan yang ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui
oleh Teuku Umar dari mata-matanya yang bertugas di sana. Untuk menangkap dan
mencegat Jenderal Belanda tersebut, Teuku Umar bersama sejumlah pasukannya
datang ke Meulaboh. Tetapi malang bagi Umar karena sebelum rencananya berhasil
dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah diketahui oleh Belanda Setelah
mendengar laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh,
Jenderal Van Heutsz segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat
diperbatasan kota Meulaboh untuk mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang
tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya telah berada di
pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui pasukan Van
Heutsz telah mencegatnya. Posisi pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak
mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya
adalah bertempur.
Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang
menembus dadanya. (Muhammad Ibrahim et.al., 1991 : 121). Seorang tangan
kanannya yang sangat setia bernama Pang Laot begitu melihat Teuku Umar rebah
terkena tembakan peluru Belanda segera melarikan jenazah Teuku Umar agar tidak
jatuh ke tangan musuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di
Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini, Cut Nyak Dhien
sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Justru dengan
gugurnya suaminya tersebut Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan
rakyat Aceh melawan Belanda. Untuk itu ia kemudian mengambil alih pimpinan
perlawanan yang tadinya dipegang
oleh suaminya.
Penghargaan
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.
Makam Teuku Umar