Museum
Tsunami Aceh
semula akan dibuat berbentuk kapal besar dan dimaksudkan hanya sebagai
penyimpanan semua dokumentasi yang terkait dengan bencana alam 26 Desember
2004. Agar generasi penerus Aceh dan Indonesia mengetahui bahwa pernah terjadi
peristiwa maha dasyat di bumi rencong ini.
Namun kemudian rencana berubah, Pemerintah Aceh bersama BRR NAD-Nias mengadakan sayembara untuk desain museum tsunami. Setelah menyisihkan 68 peserta lainnya, desain yang berjudul "Rumoh Aceh'as Escape Hill" akhirnya dimenangkan oleh seorang dosen arsitektur ITB, Bandung, M.Ridwan Kamil yang diumumkan pada 17 Agustus 2007.
Museum Tsunami Aceh yang terletak di depan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh ini memiliki tiga lantai, dengan luas setiap lantai sebesar 2.500 meter dan menghabiskan dana hingga Rp60 miliar lebih.
Goresan
arsitektur Ridwan Kamil ini, sarat dengan nilai kearifan lokal dan didesain
dengan konsep memimesis kapal, seperti hendak mewartakan Banda Aceh adalah kota
air alih-alih daratan.
Konsep yang ditawarkan arsitek ini, dengan menggabungkan rumoh Aceh (rumoh bertipe panggung) dikawinkan dengan konsep escape building hill atau bukit untuk menyelamatkan diri, sea waves atau analogi amuk gelombang tsunami, tari tradisional saman, cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban.
Konsep yang ditawarkan arsitek ini, dengan menggabungkan rumoh Aceh (rumoh bertipe panggung) dikawinkan dengan konsep escape building hill atau bukit untuk menyelamatkan diri, sea waves atau analogi amuk gelombang tsunami, tari tradisional saman, cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban.
Di dalam gedung terdapat kolam luas yang indah dengan jembatan diatasnya. Selain itu, terdapat ruangan yang dirupakan sebagai gua yang gelap serta ada aliran air mengalir.
Lahannya yang disediakan pemerintah Aceh juga berbatasan langsung dengan komplek kuburan Kerkhoff, namun isi dan kelengkapannya disediakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh.
Sejarah
Museum Tsunami Aceh adalah sebuah Museum untuk
mengenang kembali pristiwa tsunami yang maha daysat yang menimpa Nanggroe Aceh
Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih kurang
240,000 0rang.
Gedung Museum Tsunami Aceh dibangun atas prakarsa
beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran bangunan,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran
perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman pengelolaan
museum. Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai penyedia lahan dan
pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan
prasarana lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang NAD yang
membantu penyelenggaraan sayembara prarencana museum
Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami
Aceh dari BRR Aceh, Museum ini dibangun dengan 3 alasan:
1. Untuk mengenang
korban bencana Tsunami
2. Sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda tentang
keselamatan
3. Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.
Perencanaan detail Museum, situs dan monumen tsunami
akan mulai pada bulan Agustus 2006 dan pembangunan akan dibangun diatas lahan
lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Nanggroes Aceh
Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sekitar Rp 140
milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
(BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) untuk isinya juga berisi berbagai benda peninggalan sisa
tsunami.
Sebelum pembangunan dimulai panitia menyelenggarakan
lomba design museum dengan Thema "Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum
(NAD-TM)", lomba yang ditutup tanggal 5 Agustus 2007 berhadiah Total Rp
275 juta dengan rincian pemenang I mendapatkan Rp 100 juta, ke II Rp 75 juta, ke
III Rp 50 juta dan sisanya Rp 50 juta akan dibagikan sebagai penghargaan
partisipasi kepada 5 design inovatif @ Rp 10 juta. Museum Tsunami Aceh dibangun
di kota Banda Aceh kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh
1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan
pembelajaran tentang bencana tsunami.
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat
Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang
di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami.
4. Untuk
mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah
Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk
gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api
merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum tsunami tak hanya di desain sebagai tempat
pembelajaran sekaligus menyimpan sejarah tsunami Aceh. Bangunan yang di desain
dengan perpaduan konsep bukit menyelamatkan diri, analogi amuk tsunami, tari
saman, cahaya Allah serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban ini juga
bisa digunakan sebagai tempat menyelamatkan diri saat tsunami, karena atapnya
merupakan ruang terbuka yang luas memang di rancang khusus.