Legenda Tapaktuan merupakan salah satu
cerita legenda masyarakat Tapak Tuan di Aceh Selatan. Cerita ini mengisahkan
asal usul sejumlah nama di kecamatan dalam Kabupaten Aceh Selatan dan asal usul
nama Tapaktuan yang dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang hingga
sekarang masih dapat kita saksikan seperti kuburan dan Jejak kaki Tuan Tapa,
batu merah dan batu itam.
Di
dalam cerita itu dikisahkan perjalanan hidup Tuan Tapa, seorang pertapa yang
sangat taat kepada Allah. Karena ketaatannya, Tuan Tapa dapat mengetahui
hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia biasa.
Kisah ini menceritakan tentang perebutan
sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orang tua sang putri. Legenda klasik
ini terus merakyat di Tapaktuan. Secara turun temurun, legenda itu terus
berkembang. Bahkan remaja yang hidup di zaman modern ini, di Tapaktuan juga
mengetahui cerita ini.
Sebenarnya, Legenda ini memiliki alur
cerita yang sama. Namun, hanya saja cara penyampaiannya yang berbeda-beda. Yang
pasti dalam semua cerita yang disampaikan tokoh adat atau masyarakat biasa
tentang legenda ini tak terlepas tiga hal, yaitu ada Dua ekor Naga, Tuan Tapa.
Putri Bungsu. Dan Lalu, adanya pertempuran itu. Semoga pesan moral dari
legenda ini, bermanfaat bagi sobat pembaca.
******
Alkisah, seperti hari-hari sebelumnya,
kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari makan, sekarang mereka pergi ke
barat. Mereka meluncur menyusuri kawasan pinggir pantai menuju ke daerah barat.
Mereka membelah ombak lautan yang bergulung-gulung.
Setelah kedua naga berenang beberapa saat,
mereka melihat sekelompok udang besar yang sedang berenang menuju ke muara
sungai.
Kedua naga itu berenang semakin cepat.
Setelah dekat dengan kelompok udang, dihirupnya air laut kuat-kuat sehingga
seluruh udang masuk ke dalam perut mereka. Hingga sekarang, tempat itu
disebut Desa Air Berudang dan termasuk salah satu desa di Kecamatan tapaktuan.
Suatu ketika sepasang naga sedang
berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba
berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam
itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang
naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus
memperhatikan titik hitam itu.
Dari tengah lautan, mereka mendengar suara
tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras dan jelas. Sepasang
Naga itu pun berenang mendekati titik hitam tersebut di tengah lautan.
Sang Naga terjun alang kepalang. Titik
hitam itu adalah benar sesosok bayi manusia yang menangis keras,
diombang-ambingkan gelombang di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari
anyaman rotan. Anehnya, ayunan rotan itu tidak kemasukan air.
Pasangan Naga ini sangat senang
mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama
mengidam-idamkan seorang putri. Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri
pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam
cengkeramnya agar tidak hilang.
Demikianlah, waktu terus berganti. Dari
hari ke hari, bayi itu terus tumbuh normal dan sehat sebagaimana bayi manusia
lainnya. Putri kecil tersebut diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat
mengasihi putri ini.
Bahkan Naga Jantan menciptakan tempat
bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia disana.
Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka. Putri
inilah yang kemudian disebut sebagai Putri Naga.
Pada suatu hari, kedua naga itu membawa
putri kesayangan mereka pergi berjalan-jalan menikmati pemandangan daerah
Teluk yang indah mempesona.
Sang Putri dinaikkan ke punggung Naga
Jantan yang telah siap mengarungi kawasan pantai Teluk. Naga Betina berenang
mengiringi dari belakang. Sang Naga betina itu sangat cemas jika putri cantik
rupawan itu terjatuh dari punggung naga dan tenggelam.
Diam-diam sang Putri melontarkan rasa
kekagumannya. Ia senang melihat keindahan alam pantai Teluk yang masih asri.
Demikianlah keadaan sang Putri, ia terhibur selalu dengan sikap kedua naga itu.
Waktu terus bergulir, Putri Bungsu pun
merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang dalam. Suatu hari,
sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang Naga. Dari luar
gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya
bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa
manusia.
Niat untuk melarikan diripun muncul dalam
benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang
tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga
tersebut.
Waktu yang dinantikanpun tiba. Dari atas
gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki gunung itu.
Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu sedang
tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar
langkahnya tidak didengar Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang.
Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat dengan
laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk kabur dari
gunung itu.
Siang-malam Putri nan cantik jelita itu
mencari akal. Ide cemerlang pun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak pasangan
Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan tertidur
pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke
atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu
yang melintas.
Jarang sekali perahu yang mahu mendekat ke
pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu kecil
merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.
Perahu itulah yang membawa putri bungsu
pergi, Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak kapal itu. Naga
yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati. Putri kesanyangannya
telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang
melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.
Sepasang Naga itu mengejar perahu
tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang
manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sadar akan
ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.
Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap
ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang
mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.
Hal itu menyebabkan terjadinya pertarungan
sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung untuk memperebutkan
bayi yang kini telah menjadi seorang putri yang cantik yang diberi nama Putri
Bungsu.
Ketika Naga Jantan melancarkan serangan
berikutnya, Tuan Tapa menyambut dengan libasan tongkatnya. Tubuh naga pun
terpelanting ke udara dan jatuh berkeping-keping di pantai. Darah dari tubuh
naga jantan yang hancur itu tumpah kemana-mana dan memerahkan tanah, bebatuan
dan lautan.
Naga Betina pun mulai menyerang Tuan Tapa,
Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan topi
Tuan Tapa sempat tercampak ke laut, dan hingga sekarang tongkat dan topi itu
masih ada dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan.
Sementara Naga Betina yang hendak melarikan Putri Bungsu gagal. Malah hewan itu
mengamuk sambil melarikan diri ke negeri Cina.
Dalam pelariannya itulah Naga Betina
membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hinga menjadi dua bagian, dan hingga
sekarang pulau itu bernama Pulau Dua. Bahkan hewan itu mengamuk
sambil memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah hingga 99
buah. Itulah hingga kini disebut Pulau banyak yang terdapat di Kabupaten Aceh
Singkil.
Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan
kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi
keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di
Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat
Tapaktuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit.
Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4
Hijriyah . Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid
Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia
keramat itu masih bisa kita saksikan hingga saat ini.
Hingga sekarang bekas tubuh naga yang
berupa gumpalan darah itu masih dapat kita lihat di pantai berupa tanah
dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah. Batu Merah,
sekitar tiga kilometer dari kota Tapaktuan. Kini gumpalan darah dan hati
tersebut telah mengeras menjadi batu.
Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan
terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa,
peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam
berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih
dikecamatan yang sama.
Pada waktu Tuan Tapa hendak membunuh sang
naga, terjadi kejar-kejaran antara Tuanku Tapa dan sang naga. Maka pada suatu
ketika, berbekaslah tapak kaki Tuan Tapa ini. Sekarang yang masih terlihat
hanya sepasang telapak kaki sangat berjauhan, di batasi oleh gunung tempat naga
tinggal sebelumnya. Jejak tapak kaki tersebut, seperti jejak seseorang yang
melangkahi gunung, karena tak dapat ditemukan jejak yang sama di antara kedua
jejak tersebut.
Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak "Tapak Tuan Tapa" itu dengan nama kota "Tapak Tuan", atau juga sering disebut "Kota Naga Tapak Tuan".
Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak "Tapak Tuan Tapa" itu dengan nama kota "Tapak Tuan", atau juga sering disebut "Kota Naga Tapak Tuan".
Di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa,
masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai
sebagai tongkat Tuan Tapa. Lalu, bagaimana nasib sang Putri? Beberapa tokoh
masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam legenda tersebut dikisahkan sang
Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama
kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri
Naga’.
Karena kisah ini pula, orang menyebutkan
Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota Tapaktuan pemerintah
Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding pinggir jalan.
Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh Selatan.
Demikianlah kisah Cerita Legenda Tapaktuan
ini saya sampaikan apa adanya, dan mari kita ingat bahwa segala sesuatu yang
sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi bila kita baca semua alur cerita
legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch ini
banyak mengandung pendidikan dan budi pekerti yang tidak menyimpang dari aqidah
agama Islam yang mulia dan tercinta itu, serta tidak akan membuat pembaca
menjadi syirik dan sesat.