Lonceng yang sangat terkenal di Aceh ini merupakan
pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang Kaisar Cina kepada Sultan Iskandar Muda pemimpin Kerajaan Aceh pada masa itu. Lonceng ini dibuat pada
tahun 1409. Pemberian lonceng ini
dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan
di negara yang berbeda. Lonceng ini mempunyai tinggi lebih kurang 1,25 meter dengan
lebar 0,75 meter. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar
Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng
cakradonya berfungsi sebagai media untuk
menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang di masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini juga terdapat
tulisan aksara Tionghoa-Arab.
Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat
Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah
dimakan usia.
Menurut G.L. Tichelman dalam buku Cakra Donya, De
Indische Gids I (1939), lonceng ini dahulu pernah dianggap sebagai barang atau
benda keramat oleh sebagian orang Aceh. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang
bermutu tinggi ini digantung di sebuah pohon di dekat Masjid
Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Lonceng
Cakra Donya hingga akhir tahun 1915 masih digantung di pohon ba'gloendong
(pohon kuda-kuda) yang letaknya di sebelah timur Masjid Raya Baiturrahman. Asal usul lonceng ini tidak diketahui oleh siapa pun. Anak loncengnya telah
hilang dan sejak tahun 1915 tidak ada lagi seorang pun yang pernah mendengar
suaranya.
Pada tanggal 2 Desember 1915, pada masa Gubernur H.N.A
Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk menurunkan lonceng dari
pohon ba'gloendong karena khawatir pohon tersebut patah dan lonceng akan rusak,
maka lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu diturunkan oleh orang-orang
Cina, karena orang menganggap lonceng tersebut berhantu. Menurut cerita, orang
Cina yang menurunkan lonceng tersebut sebelumnya meminum arak terlebih dahulu
sampai mabuk, baru kemudian berani menurunkan lonceng itu. Setelah penurunan
lonceng itu, Banda Aceh dilanda banjir besar. Selanjutnya pada tanggal 13
Desember 1915 datanglah seorang utusan menghadap Gubernur H.N.A Swart
memberitahukan bahwa banjir tersebut disebabkan peletakkan lonceng yang tidak
pada tempatnya. Atas perintah Gubernur Swart lonceng tersebut kemudian digantungkan
di bawah museum Aceh dan banjir pun reda saat itu. Akan tetapi, tahun
berikutnya banjir datang lagi. Maka sekali lagi utusan tersebut datang dan
mengatakan bahwa peletakannya masih kurang tepat. Seharusnya lonceng tersebut
diletakkan terpisah dan tertutup. Swart pun menyetujui dan membuat bangunan
khusus untuk menggantungkan lonceng tersebut. Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua ini digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah
kubah dari kayu di depan Museum Aceh.
Pada lonceng ini terdapat hiasan-hiasan dengan
simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina.
Simbol-simbol dalam huruf Arab untuk saat ini tidak dapat
dibaca lagi. Diduga bahwa tuangan-tuangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan
emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan
emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya. Namun sekarang emasnya telah
hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hingga kini Lonceng raksasa ini
menjadai simbol atau icon khusus Kota Banda Aceh.