12 Januari 2013

Cut Nyak Dhien

Riwayat Hidup

Melihat Riwayat Aceh tidak bisa dipisahkan dari kisah perang yang terus ada di daerah ini. Kisah ini dimulai dari Perang Aceh, disusul dengan pendudukan Jepang, kemudian perang mempertahankan kemerdekaan, Peristiwa Cumbok, Kasus DI/TII Aceh, G 30/S, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), terakhir status Aceh sebagai Daerah Darurat Militer 2005.

Meski setiap kasus perang menyisakan kisah tersendiri, tanpa mengecilkan perang yang lain, Perang Aceh (26 Maret 1873-1950) merupakan perang dengan tingkat heroisme luar biasa.  Pertama, perang ini merupakan perang terlama yang harus dihadapi Belanda di Hindia Belanda (30 tahun lebih). Kedua, Perang Aceh telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam panggung perlawanan terhadap kolonialisme di Hinda Belanda. Cut Nyak Dhien salah satunya.
Dhien hidup di waktu yang sama dengan Alexandrina Victoria, Ratu Britania Raya. Dhien juga lahir ketika perang saudara tengah melanda Aceh. Perang yang melibatkan dua kubu di wilayah VI Mukim dan Meuraksa. Perang akhirnya menjadi bagian yang  tidak terpisahkan hingga maut menjemput usia. Abdul Haris Nasution, Jenderal Besar Indonesia menyebut Dhien sebagai Ibu Gerilya Indonesia yang berperang sampai tenaga terakhir. (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 8)

Dilihat dari garis keturunannya, Dhien termasuk  dalam Bangsawan Aceh. Ayahnya Teuku Nanta Setia, seorang, sekaligus keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatra Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke-18, dimana Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Sedang Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang  Lampagar.

Hidup sebagai bangsawan tidak selamanya dirasakan Dhien. Dhien hanya merasakan kenikmatan ini ketika dia lahir pada 1848 di Lampadang, aceh besar Lamnga XIII, pecahlah Perang Aceh pada 26 Maret 1873. Ketika Perang Aceh ini meletus, seruan jihad langsung melanda seantero Aceh. Praktis sang suamipun harus meninggalkan Dhien untuk berjihad.

Sepeninggal sang suami, hidup Dhien senantiasa dilanda kekhawatiran. Bayangan syahidnya  Teuku Ibrahim Lamnga tidak pernah absen mengisi pikiran wanita yang menikah di usia 12 tahun ini. Kekhawatiran tersebut akhirnya menjadi kenyataan ketika Teuku Ibrahim Lamnga benar-benar syahid pada 29 Juni 1878 di Sela Glee Tarum. Sepeninggal sang suami, kini Dhien harus hidup berdua dengan anak pertamanya.

Dari kematian suami pertamanya inilah, Dhien bersumpah untuk melanjutkan perjuangan sang  suami. Dhien pun menyatakan bahwa dia hanya akan menikahi pria yang bisa menyalurkan sumpahnya ini. Bisa dikatakan, api pemantik terjunnya Dhien di Perang Aceh bermula dari motivasi  pribadinya atas kematian sang suami. Sebuah motivasi yang dibayar mahal oleh Dhien dengan nyawanya.

Pernikahan  kedua akhirnya dilakukan oleh Dhien. Pria yang menjadi pendamping Dhien ini  bernama Teuku Umar. Pernikahan dilangsungkan pada 1887. Menikahnya Dhien dan Umar berarti pula terjalin ikatan kuat antara kedua pemimpin perjuangan Aceh. Pernikahan ini sekaligus memberikan andil untuk meningkatkan moral-moral pasukan perlawanan Aceh. Keduanya bahu-membahu bertempur melawan Belanda.

Cut Nyak Dhien terjun ke medan pertempuran bersama suami barunya, Teuku Umar. Bersatunya kedua pemimpin perlawanan ini sempat mengejutkan Belanda di Kutaradja. Sepakterjang keduanya membuahkan hasil dengan direbutnya kembali daerah VI Mukim dari tangan Belanda. Dhien kini bisa  pulang ke kampung halamannya untuk membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumahnya ini sekaligus menjadi markas tempat pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama dalam  mengobarkan semangat Prang Sabil.

Dhien juga sukses meredam prasangka buruk dari rekan seperjuangan ketika Umar bersama 250  pejuang Aceh membelot ke Belanda pada 30 September 1893. Dhien meyakinkan pada pejuang lainnya seperti Cut Meutia bahwa Umar hanya menjalankan taktik perang. Keyakinan Dhien terbukti ketika Umar kembali ke kubu pejuang Aceh. Kembalinya Umar ini disertai pula dengan bertambahnya perlengkapan perang karena Umar sukses menipu Belanda dengan meminta banyak perlengkapan perang. Praktis kekuatan pasukan Aceh menjadi lebih ampuh, terutama di sektor Aceh Barat. Peristiwa ini dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Perjuangan

a. Peran Wanita Aceh

Peran para wanita Aceh dalam Perang Aceh sungguh luar biasa. Dhien membuktikan peran ini dengan menggadaikan seluruh hidup, kebebasan, kemerdekaan, hingga nyawanya untuk tanah air tercinta. Kematian sang suami hanya awal bagi srikandi Aceh ini. Belanda telah membangunkan api kesumat Dhien.

Dhien sebagaimana wanita Aceh lainnya, mempunyai satu sifat serupa, pantang menyerah. Sifat ini telah dibuktikan para wanita Aceh sejak lama. Sebagai pendamping suami, jika telah menikah wanita Aceh juga pemikul tanggung jawab suami jika perang mengharuskan kaum laki-laki pergi jihad. “Wanita adalah penjaga nyawa Aceh,” demikian kata mantan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan.

Figur Seorang Wanita Aceh
Sikap wanita Aceh ini ternyata terbentuk karena pengaruh Islam yang sangat kuat. Dalil-dalil Islam dijadikan landasan bagi kaum wanita dalam menentukan sikap. Sejak masa Kesultanan Perlak, Kesultanan Pasai, hingga Aceh Darussalam, Islam telah diambil menjadi dasar negara dan sumber hukumnya, yaitu Al-Qur‘an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas. Berdasarkan hukum inilah wanita Aceh melandaskan segala tindakannya, termasuk dalam keadaan perang sekalipun.

Dalam masalah jihad atau perang menurut Islam, kewajiban pria dan wanita sama, artinya sama-sama wajib berjihad untuk menegakkan Agama Allah dan membela tanah air. Landasan ini sesuai dengan hadist:
“ ..... Menurut sebuah Hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dari seorang sahabat wanita yang mengatakan: “Kami pergi berperang bersama Rasul Allah, di mana antara lain tugas kami menyediakan makan dan minum bagi para prajurit; mengembalikan anggota tentara yang syahid ke Madinah‘.” (Al Hadist riwayat Bukhari)

“ ..... Seorang sahabat wanita lain berkata: "Kami ikut perang bersama Rasul Allah sampai tujuh kali, di mana kami merawat prajurit yang luka, menyediakan makanan dan minuman bagi mereka‘.” (Al Hadist riwayat Bukhari)
Dasar inilah yang melandasi tekad juang Cut Nyak Dhien dan wanita Aceh lainnya untuk turut  serta dalam Perang Aceh yang mereka anggap sebagai jihad.

Di Perang Aceh inilah, kemampuan wanita Aceh tidak kalah jika dibandingkan dengan kaum pria. Kemampuan wanita untuk memimpin, menyusun taktik, hingga turut serta ke medan perang, telah dibuktikan dengan sejumlah prestasi gemilang. Cut Nyak Dhien sendiri juga membuktikan hal ini dengan naik sebagai pemimpin perlawanan sepeninggal suami keduanya, Teuku Umar yang dinikahi pada 1878 (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 25)

Gambaran heroisme wanita Aceh dalam Perang Aceh sempat dituliskan oleh seorang warga Eropa bernama H.C. Zentgraaff. Dalam Perang Aceh, Zentgraaff mencatat dengan detail bagaimana wanita Aceh tetap bertindak sebagai pihak yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sebagaimana kaum lelaki yang mengangkat senjata, wanita Aceh juga berperang dengan jiwa dan raganya.

Zentgraaff menuliskan bahwa:
“Wanita-wanita Aceh yang gagah dan berani merupakan perwujudan lahiriah dari dendam kesumat yang paling pahit... perwujudan jasmaniah watak yang tak kenal menyerah yang setinggi-tingginya, dan apabila mereka ikut bertempur, maka dilakukannya dengan energi serta semangat berani mati, yang kebanyakan lebih dari kaum lelakinya. Wanita Aceh adalah pemikul beban dendam yang membara sampai ke tepi lubang kuburnya, dan sudah di depan maut sekalipun, dia masih berani meludahi muka si Kaphe (sebutan Kafir dalam Bahasa Aceh). Tak seorang pengarang cerita pun, dapat membuahkan karangan dengan daya fantasi yang berkhayal setinggi apapun dalam bidang ini, dibandingkan dengan kenyataan yang sungguh-sungguh  terjadi”. (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 74)
Pernyataan Zentgraaff juga dibuktikan oleh Dhien. Dirinya tidak rela menyerah meski penyakit encok mendera tubuhnya dan matanya nyaris buta. Di akhir petualangan Dhien dalam melakukan perlawanan, dia sempat mencabut rencong sebagai tanda pantang menyerah.

Heroisme yang ditunjukkan oleh Dhien juga ditulis oleh Zentgraaff. Dia kembali menulis tentang perlawanan Dhien sebagai salah satu anak bangsa Aceh. Menurut Zentgraaff:
“..... Bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Aceh, melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan merekapun melampaui kaum lelaki Aceh yang sudah dikenal bukanlah lelaki lemah, dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka” (H.C. Zentgraaff, 1982/1983: 95)
Inilah frame Zentgraaff untuk memaknai arti wanita Aceh. Kesimpulan dari analisis Zentgraaff terpolarisasi dengan penyebutan para wanita Aceh sebagai “de leidster van het verzet" (pemimpin perlawanan) dan “grandes dames" (wanita-wanita besar).

b. Perjuangan Cut Nyak Dhien

Pecahnya Perang Aceh merupakan akibat dari buntunya proses diplomasi antara Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niuwenhuijzen. Belanda akhirnya mengirimkan surat “pernyataan perang” kepada Kerajaan Aceh Darussalam tertanggal 26 Maret 1873. Surat ini sampai kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Isi surat pada intinya adalah pernyataan Pemerintah Hindia Belanda yang berkewajiban untuk memelihara kepentingan umum atas perniagaan dan pelayaran di Kepulauan Hindia Timur. Niuwenhuijzen berdalih bahwa pemberitahuan kepada Sultan Aceh telah disampaikan pada 22 dan 24 Maret 1873. Tapi Belanda mengklaim bahwa pemberitahuan ini tidak mendapat respon dari pihak Sultan Aceh.

Belanda mengambil kesimpulan bahwa Sultan Aceh menantang Pemerintah Hindia Belanda. Atas dasar sikap ini pula, Belanda menuduh Sultan Aceh telah melanggar perjanjian yang mengikat antara Kerajaan Aceh dengan pihak Gubernemen Hindia Belanda pada 30 Maret 1857, tentang perniagaan, perdamaian, dan persahabatan. Belanda akhirnya memaklumatkan “pernyataan perang” terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.

Perang terjadi tepat ketika Mayor Jenderal Kohler memimpin ekspedisi pertama untuk menaklukkan Aceh pada 5 April 1873. Pasukan Kohler ini berkekuatan 168 perwira dan 3.800 serdadu Belanda sewaan (A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, 1977: 33). Masuknya Pasukan Kohler membuat rakyat Aceh bersiap menghadapi perang, termasuk Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertama dari Cut Nyak Dhien. Beliau merupakan tokoh pejuang di daerah Mukim VI.

Bersama Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah, Teuku Ibrahim Lamnga bertekad  mempertahankan setiap jengkal tanah Aceh dari serbuan Belanda. Aktifnya Teuku Ibrahim Lamnga ke garis depan membuat suami-istri ini harus berpisah. Di sinilah perjuangan Cut Nyak Dhien yang pertama dimulai. Fungsi perlawanan bagi Dhien adalah memberikan semangat juang pada sang suami kala pulang. Kondisi inilah yang menempa jiwa-raga Cut Nyak Dhien. Sebuah kondisi yang akan terus dijalani di sisa waktunya.

Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman serta membakarnya. Melihat aksi brutal ini, Cut Nyak Dhien dengan lantang berkata:

“Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu masjid kita dibakarnya! Mereka Menentang Allah, tempatmu beribadah dibakarnya! Nama Allah dicemarkan! Camkan itu! Janganlah kita melupakan budi si kaphe yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kaphe serupa? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Petrik Matanasi  (ed), 2008: 25)


Masjid Bait al-Rahman, yang sempat di bakar Belanda saat Perang Aceh

Pembakaran Masjid Raya Baiturrahman ternyata harus dibayar mahal oleh Kohler. Pada ekspedisi pertama ini, Kohler tewas. Dia tertembak pada 15 April 1873. Jenasah Kohler sempat dilarikan ke Kapal “Citadel van Antwerpen”. Tewasnya Kohler berarti menandakan berakhirnya ekspedisi pertama Belanda ke Aceh.

Gagalnya ekspedisi pertama membuat Belanda semakin penasaran dengan Aceh. Akhirnya  Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon, mengangkat Letnan Jenderal J. van Swieten menjadi Panglima Agresi kedua tentara Belanda merangkap Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh (Mohammad Said, 1961: 435-436). Atas pengangkatan ini, pada 6 November 1873 berangkatlah Letnan Jenderal J. van Swieten ke Aceh. Ekspedisi kedua ini berkekuatan 60 kapal perang yang dilengkapi dengan 206 meriam, 22 mortir, 389 perwira, 7.888 serdadu biasa, 32 perwira dokter, 3.565 orang hukuman laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang hukuman perempuan, pastor, guru agama, kaki-tangan Belanda seperti Sidi Tahil, Datok Setia Abuhasan, Mas Sumo Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw, Josee Massang, Li Bieng Tjhet, Tjo Gee, Si Diman, Ramasamy, Si Kitab, Ameran, Malela, dan Said Muhammad bin Abdurrahman Maysore. (Mohammad Said, 1961: 437-439) 

Pada 28 November 1873 ekspedisi kedua di bawah Swieten mendarat di pelabuhan Aceh. Setelah mendarat, daerah demi daerah berhasil dikuasai Belanda, seperti Pantai Kuala Lue pada 9 Desember 1873; Kuala Gigieng; Kuala Aceh; Peunayong; Gampong Jawa; hingga Istana Kerajaan dan Ibukota Banda Aceh.

Dalam ekspedisi kedua inilah suami pertama Cut Nyak Dhien, Teungku Ibrahim Lamnga syahid di Sela Glee Tarum pada 29 Juni 1878. Mengetahui suaminya syahid, Cut Nyak Dhien bersumpah untuk bertaruh nyawa, berperang melawan Belanda. Dhien juga bersumpah tidak akan menikah kecuali dengan pria yang bisa memberikan keleluasaan baginya untuk turut berjuang.

Lelaki itu akhirnya datang juga. Namanya Teuku Umar. Putra dari Teuku Muhammad. Awalnya Cut Nyak Dhien menolak menerima lamaran dari Teuku Umar. Tapi kemudian Cut Nyak Dhien menerima setelah Teuku Umar sanggup untuk mengijinkan Cut Nyak Dhien ikut serta dalam berjihad. Pernikahanpun akhirnya dilangsungkan pada 1887.

Dwi tunggal ini kemudian bahu membahu berjihad melawan Belanda. Bersama Teuku Umar, Dhien melancarkan aksi di Krueng. Tidak hanya di Krueng, dwi tunggal ini juga sukses membebaskan daerah-daerah yang semula dikuasai Belanda. Bagi Teuku Umar, Cut Nyak Dhien lah inspirator bagi keberhasilan jihadnya selama ini. Anggapan ini turut pula dikuatkan oleh Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien adalah “otak” dari Teuku Umar yang terkenal licin oleh petinggi militer Belanda di Aceh. (Petrik Matanasi (ed.), 2008: 26)

Suatu ketika Cut Nyak Dhien dan laskarnya bermukim di daerah Montasik. Tapi malang, kepala Mukim di daerah ini menyerah pada Belanda. Akibat dari penyerahan ini, Cut Nyak Dhien harus berpindah tempat. Pada saat inilah, Cut Nyak Dhien melahirkan putri hasil pernikahannya dengan Teuku Umar. Nama bayi itu Cut Gambang. Meski sedang dalam keadaan hamil tua dan kemudian melahirkan, Dhien tetap berjuang bagi bangsanya. Sedang Teuku Umar seringkali harus berpisah dari istri tercinta.

Perpisahan yang kedua harus dialami Cut Nyak Dhien. Kali ini menimpa pada Teuku Umar, suami keduanya. Dalam suatu serangan di Meulaboh pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tertembak Belanda. Dengan sabar, tawakal, serta tabah, Cut Nyak Dhien menerima kabar buruk ini. Bahkan dihadapan putri semata wayangnya, Cut Nyak Dhien memberikan pesan: “Wanita Aceh pantang meneteskan air mata untuk seseorang yang mati syahid.” (Ungkapan ini bisa dilihat dalam dialog Film “Tjoet Nja‘ Dhien”: 1988)

Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak Dhien tetap melanjutkan perang. Dhien memimpin perang di sektor pertahanan Aceh Besar dan Aceh Barat. Dhien lebih memilih berperang dari pada menyerah kepada Belanda, meski keadaannya sangat memprihatinkan. Pada awalnya laskar yang dipimpin Cut Nyak Dhien masih cukup banyak. Tapi lama kelamaan, jumlah ini menyusut juga. Ditambah kondisi alam, persediaan makanan, dan kesehatan Dhien yang terus memburuk.

Dhien menjadi kelihatan bertambah tua melebihi umur sebenarnya. Dia tetap bertahan dengan tabah dan tidak henti-hentinya mengobarkan semangat Prang Sabil pada para pengikutnya. Iman kuat menjadi pertaruhan besar dalam situasi yang sekarang mereka hadapi. Hanya ada dua pilihan, takluk pada Belanda dan mendapat kemewahan atau tetap menderita demi Aceh yang merdeka.

Meski semangat dalam tubuh Dhien tetap menyala, tapi fisik Dhien tidak bisa menipu. Lambat laun fisik wanita tua ini sampai batasnya. Dhien menderita rabun yang mengarah pada kebutaan. Tubuhnya juga mulai terkena penyakit encok yang parah. Saat itu usianya sudah kepala lima.

Dhien juga sering menderita kelaparan di dalam hutan, sementara patroli Belanda tidak henti-hentinya terus mengejar tempat persembunyian Dhien. Pernah suatu kali selama berminggu-minggu Dhien dan laskarnya tidak menjumpai nasi sebagai makanan pokok dan harus makan bonggol pisang hutan yang direbus. (Zentgraaff,  1982/1983: 97)

Cut Nyak Dhien, Pang Laot (Ber-Jas Hitam) dan Pengikutnya

Melihat  keadaan Cut Nyak Dhien yang semakin parah, tangan kanan Cut Nyak Dhien bernama Pang Laot menawarkan pada Dhien untuk menyerah. Sebenarnya tawaran Pang Laot ini semata-mata adalah sikap tidak tega melihat pemimpinnya harus mengalami penderitaan tersebut. Padahal sebenarnya Dhien adalah keturunan bangsawan terpandang. Tapi saran Pang Laot ditolak oleh Dhien. Meski demikian, tanpa sepengetahuan Dhien, Pang Laot menyusun siasat untuk membocorkan tempat persembuyian Cut Nyak Dhien kepada Belanda.

Pang Laot akhirnya menemui Veltman, seorang pemimpin pasukan Belanda. Kedua belah kubu ini kemudian dijalin suatu perundingan untuk menyerahkan Cut Nyak Dhien. Pang Laot bersedia menyerahkan Dhien dengan syarat, Cut Nyak Dhien tidak mendapat hukuman pengasingan setelah ditangkap nantinya. Dhien tidak boleh keluar dari Tanah Rencong. Syarat kedua, Dhien harus diperlakukan secara baik-baik, sebagaimana layaknya orang terhormat. Penyakitnya harus diobati. Veltman setuju dengan syarat ini.
Van Daalen dengan Veltman yang Berada di Sebelah Kirinya
Atas petunjuk Pang Laot dibawalah pasukan Belanda yang dipimpin Letnan van Vureen ke tempat persembunyian Cut Nyak Dhien. Di tengah hujan lebat, tempat persembunyian Dhien di Babah Krueng Manggeng, Aceh Barat dikepung pasukan Belanda. Meski nyaris tidak bisa berjalan dan mata yang nyaris buta, Dhien tetap melakukan perlawanan terakhir dengan menghunus rencong menantang pasukan Belanda. Tapi usaha ini tidak berarti banyak. Dhien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.

Meski tertangkap, Belanda secara sadar telah mengakui bahwa Dhien wanita luar biasa. Meski tenaga Dhien telah banyak berkurang tapi daya juangnya sangat luar biasa hingga lanjut usia. Bahkan Belanda mengakui bahwa sebenarnya selama ini di Negeri Belanda sendiri belum pernah mempunyai seorangpun pejuang pahlawan wanita yang hebat seperti Cut Nyak Dhien.

Di Banda Aceh Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan terhormat. Penyakitnya disembuhkan, dan boleh menerima tamu. Ternyata rakyat Aceh sangat senang melihat pemimpin mereka ada di Banda Aceh. Beramai-ramai orang Aceh datang menjenguk Dhien. Penguasa setempat menjadi khawatir benih perlawanan kembali bersemi.

Timbullah sebuah keputusan untuk mencabut Dhien dari “akar perjuangan” dan hukuman  pengasingan dikenakan pada Dhien. Belanda mengingkari janji. Atas keputusan Gubernur Jenderal van Daalen, Dhien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat ini Belanda menutup identitas Dhien, sehingga masyarakat sekitar tidak tahu jika yang diasingkan di Sumedang ini adalah pemimpin perjuangan dari Aceh. Dhien dikenal sebagai Ibu Perbu (Ibu Ratu).

Di Sumedang Dhien tetap berjuang dalam bidang agama. Dia mengajari anak-anak Sumedang belajar mengaji. Dhien sangat hafal Al-Qur‘an dan dari hafalan inilah Dhien mengajarkan ajaran agama. Meski matanya nyaris buta tapi semangatnya tidak pernah pupus. Dhien tetap berkarya demi bangsanya. Dia adalah pelita.

Akhirnya srikandi Aceh ini harus pasrah pada nasibnya. Dhien meninggal pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, sumedang jawa Barat.
Makam Cut Nyak Dhien
Karya

Cut Nyak Dhien merupakan sosok wanita yang sanggup memimpin sebuah laskar perang. Dia sanggup mengambil alih tugas yang ditinggalkan sang suami, Teuku Umar. Dhien juga sosok yang berpengaruh kuat atas sepakterjang Teuku Umar. Seperti dikatakan Jenderal J.B. van Heutz, bahwa Cut Nyak Dhien adalah “otak” dari Teuku Umar yang terkenal licin oleh petinggi militer Belanda di Aceh. (Petrik  Matanasi (ed.), 2008: 26)

Sosok Dhien hingga kini dijadikan cerminan bagi wanita, terutama Aceh. Sosok wanita Aceh yang dulu sangat dihormati dan dikagumi oleh Zentgraaff, dibuktikan dengan sempurna oleh Dhien sampai akhir hanyatnya.

Penghargaan

Perangko Cut Nyak Dhien
Rumah Cut Nyak Dhien di Lam Pisang
Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1946 pada 2 mei 1964. Nama Cut Nyak Dien diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang Angkatan Laut Indonesia, KRI Cut Nyak Dhien. Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Nja' Djien. Prangko Seri Pahlawan Nasional Cut Nyak Dhien diterbitkan dalam rangka mengenang 100 tahun meninggalnya pejuang wanita Aceh yang gagah berani tersebut pada 6 November 1908.
 
Nama Cut Nyak Dhien juga diabadikan sebagai bandar udara di Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam dengan nama Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya. Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang ditetapkan sebagai bangunan bersejarah. Selain itu rumah tempat Cut Nyak Dhien diasingkan di Desa Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang, Jawa Barat, kini dijadikan museum. Sebuah masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota di Indonesia.

*****

Sumber Artikel Atjeh Cyber Warrior

TwitterFacebookGoogle Plus

 
Design by ForeGone | Premium Blogger Themes