27 Januari 2013

Pesawat Dakota RI-001 Seulawah


Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.

Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

Sejarah
KSAU Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.

Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kemudian, Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.

Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaraja, Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.

Latar belakang pembelian dua pesawat Seulawah & Kisah yang Tercecer
Pesawat Seulawah RI-001 merupakan bukti nyata dukungan totalitas yang diberikan Aceh dalam proses persalinan republik ini. Seulawah RI-001 yang merupakan cikal bakal Garuda Indonesia Airways, merupakan instrumen paling penting dan efektif dalam tahap paling awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pada sebuah jamuan makan malam, saat kunjungan nya ke Aceh, tanggal 16 Juni 1948 yang diselenggarakan oleh Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida), di Hotel Atjeh, Banda Aceh, Presiden Soekarno angkat bicara, “saya tidak akan makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul”.

Peserta pertemuan yang terdiri atas saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik. Lalu, salah seorang dari mereka bangun. Seorang pria muda berusia sekitar 30 tahun. Dia saudagar. Namanya M Djoened Joesof. “saya bersedia”, sahut Djoened Joesof yang juga menjabat ketua Gasida. Selanjutnya menyusul kesediaan saudagar lainnya. Alhasil malam itu terkumpul dana yang cukup besar. Presiden Soekarno puas dengan menyungginggkan senyum. Ia lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan.

Adegan jamuan makan malam itu merupakan bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang. Penulis Sejarah, Tgk AK Jakobi mencatatkan peristiwa itu dalam bukunya “Aceh Daerah Modal” (Yayasan Seulawah RI-001, 1992).

Dalam pidatonya di sebuah rapat akbar di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, keeseokan harinya, 17 Juni 1948, Soekarno menyatakan hal itu. ”Kedatangan saya ke Aceh ini khusus untuk bertemu dengan rakyat Aceh, dan saya mengharapkan partisipasi yang sangat besar dari rakyat Aceh untuk menyelamatkan Republik Indonesia ini,” begitu katanya memohon kesediaan Rakyat Aceh untuk terus membantu Indonesia. Di Blang Padang itu pula ia kemudian berujar tentang kontribusi Aceh sebagai daerah modal terhadap berdirinya Indonesia. “Daerah Aceh adalah daerah modal bagi Republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat Aceh, seluruh wilayah Republik Indonesia dapat direbut kembali,” ungkap Soekarno bersemangat.

Ketika Soekarno mengakhiri kunjungannya di Aceh pada 20 juni 1948, dana yang terkumpul untuk pembelian pesawat itu berjumlah 120.000 dollar Singapura dan 20 kg emas. Dana tersebut dihimpun dari masyarakat Aceh oleh Panitia Dana Dakota (Dakota Found) di Aceh yang dipimpin HM Djoened Joesof dan said Muhammad Alhabsyi.

Opsir Udara II Wieko Soepono yang ditugasi membeli pesawat dari hasil sumbangan rakyat Aceh tersebut. Selang tiga bulan kemudian, pesawat berhasil didapatkan, jenis Dakota milik seorang penerbang Amerika Mr JH Maupin di Hongkong. Pesawat dengan kode VR-HEC itu mendarat di Maguwo Padang dan kemudian diregistrasi RI-001. Adalah Presiden Soekarno sendiri yang memberi nama “Seulawah” pada pesawat tersebut.

Pada jamuan makan malam dengan pengusaha Gasida di Hotel Atjeh itu, Presiden Soekarno, Seperti dikutip H. Muhammad TWH dalam satu artikelnya dari buku “Modal Perjuangan Kemerdekaan” yang ditulis TA Alsya, menyampaikan pidato antara lain berbunyi, “Harga satu pesawat Dakota hanya M$ 120.000. Saya belum mau makan sebelum mendapat jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’,” kata Soekarno, yang berhasil membakar semangat para saudagar itu.

Lalu berkat keikhlasan dan ketulusan rakyat Aceh itulah, terkumpul dana dan emas yang cukup untuk membeli pesawat Dakota. Pesawat sumbangan Aceh inilah yang kelak menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dan menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia Airways. Bulan Juni 1948, Soekarno berkunjung ke Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno berkata, “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau”. Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu, pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan emas perak untuk membeli pesawat. Para perempuan Aceh melepas cincin, kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk membeli pesawat yang diberi nama "Seulawah". Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram.

Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung Emas".

Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo - Jambi - Payakumbuh - Kutaraja - Payakumbuh - Maguwo.

Di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Birma (kini Myanmar).

Petualangan Seulawah

Pesawat RI-001 Seulawah yang terletak di Lapangan Blang Padang Banda Aceh

Pesawat RI-001 Seulawah yang terletak di Bandara Halim Perdana Kusuma

Pesawat RI-001 Seulawah yang terletak di Taman Mini Indonesia.

Seulawah RI-001 di parkir di halaman Anjungan Aceh TMII sejak 1975. Tak banyak yang tahu bahwa pesawat itu adalah replika (tiruan). Sebenarnya ada tiga replika pesawat seulawah RI-001 yang dibuat. Salah satunya yang berada di TMII itu. Satu lagi ditempatkan di Lapangan Blang Padang Banda Aceh sebagai monumuen. Replika terakhir adanya di Museum Ranggon, Myanmar. Pemerintah Myanmar merasa berutang budi kepada Seulawah karena telah ikut menjadi pesawat angkut di negara itu pada 1949. Di negeri itulah untuk pertama kali pesawat yang diregistrasikan RI-001 dikomersialkan pada Pemerintah Birma yang ketika itu sedang menghadapi pemberontakan dalam negeri. Selesai mendapat perawatan di Calcutta, India, seulawah diterbangkan menuju Ranggon, Burma, pada 26 Januari 1949 dan langsung mendapat tugas penerbangan sebagai pesawat carteran dan terlibat dalam berbagai misi operasi militer di negara tersebut. Kegiatan usaha carter pesawat tersebut dilembagakan dan menjadi satu perusahaan penerbangan yang diberi nama Indonesian Airways. Inilah perusahaan penerbangan pertama milik Indonesia yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi Garuda Indonesia Airways.

Selain sebagai pesawat angkut pertama milik Indonesia, Seulawah RI-001 juga sempat menjalani tugas rahasia menyelundupkan senjata, amunisi dan alat komunikasi dari Burma ke Aceh, dengan satu kode melalui pesan radio “….pintu rumah Blangkejren sudah selesai tetapi membawa minuman sendiri….”. yang diterima pimpinan Seulawah RI-001, Opsir Udara (OU) Wiweko Soepono. Itu artinya, bahwa “senjata sudah siap diangkut dan mendarat di Blang Bintang dengan membawa bensin udara sendiri”.

Misi rahasia yang dipimpin Wiweko Soepono ini berhasil sukses. Seulawah mendarat mulus pada malam hari di Blang Padang dengan panduan cahaya obor dan lampu mobil ke landasan. Peristiwa penting ini terjadi pada 8 Juni 1949. senjata yang diselundupkan jenis Brend Inggris. Selang beberapa waktu kemudian dilakukan penyelundupan kedua kali dengan sasaran pendaratan di Lhoknga. Senjata yang dibawa adalah Brend Inggris 6 buah, cadangan laras senjata 150 pucuk dan amunisi. Penyelundupan yang kedua ini pun dilakukan pada malam hari.

Selain dari pada tugas komersil dan penyelundupan senjata, pesawat yang disumbangkan lewat pengumpulan harta pribadi rakyat Aceh ini juga mengantar Indonesia berhasil menembus blokade tentara pendudukan kolonial. Seulawah RI-001 ini lah yang juga membawa tokoh-tokoh bangsa ke dunia Internasional untuk membangun dan menjalin hubungan internasional guna menghasilkan pengakuan dan dukungan kepada Republik Indonesia dalam perjuangan menghalangi nya kembali kolonialisme.

Monumen
Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan, beberapa jenis pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa operasinya. Salah satunya adalah jenis Dakota.

Namun, karena jasanya yang dinilai besar bagi cikal bakal berdirinya sebuah maskapai penerbangan komersial di tanah air, TNI AU memprakarsai berdirinya sebuah monumen perjuangan pesawat Dakota RI-001 Seulawah di Banda Aceh.

Pada tanggal 30 Juli 1984, Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani pun meresmikan monumen yang terletak di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.

Monumen ini menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi perjuangan Republik Indonesia di awal berdirinya.

SMN di SEULAWAH
RI-001 Seulawah membuka jalur pertama penerbangan Sumatera-Jawa. November 1948 Seulawah digunakan Bung Hatta untuk perjalanan keliling Maguwo-Payakumbuh-Kutaraja. Awal Desember 1948 Seulawah terbang ke Kalkutta India untuk perawatan rutin. Malang dan untung, agresi Belanda terjadi tidak lama kemudian memaksa Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Dari Kalkutta Seulawah terbang ke Rangoon Burma. Selain mulai bisa melakukan penerbangan komersil di negeri orang, Seulawah juga menyimpan sesuatu yang terpendam dalam perutnya. Sebuah radio pemancar dengan callsign-SMN yang meneruskan berita dari Indonesia ke seluruh dunia.

Sumber Artikel Aceh Pedia

26 Januari 2013

Museum Tsunami Aceh


Museum Tsunami Aceh semula akan dibuat berbentuk kapal besar dan dimaksudkan hanya sebagai penyimpanan semua dokumentasi yang terkait dengan bencana alam 26 Desember 2004. Agar generasi penerus Aceh dan Indonesia mengetahui bahwa pernah terjadi peristiwa maha dasyat di bumi rencong ini.

Namun kemudian rencana berubah, Pemerintah Aceh bersama BRR NAD-Nias mengadakan sayembara untuk desain museum tsunami. Setelah menyisihkan 68 peserta lainnya, desain yang berjudul "Rumoh Aceh'as Escape Hill" akhirnya dimenangkan oleh seorang dosen arsitektur ITB, Bandung, M.Ridwan Kamil yang diumumkan pada 17 Agustus 2007.

Museum Tsunami Aceh yang terletak di depan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh ini memiliki tiga lantai, dengan luas setiap lantai sebesar 2.500 meter dan menghabiskan dana hingga Rp60 miliar lebih.

Goresan arsitektur Ridwan Kamil ini, sarat dengan nilai kearifan lokal dan didesain dengan konsep memimesis kapal, seperti hendak mewartakan Banda Aceh adalah kota air alih-alih daratan.

Konsep yang ditawarkan arsitek ini, dengan menggabungkan rumoh Aceh (rumoh bertipe panggung) dikawinkan dengan konsep escape building hill atau bukit untuk menyelamatkan diri, sea waves atau analogi amuk gelombang tsunami, tari tradisional saman, cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban.

Di dalam gedung terdapat kolam luas yang indah dengan jembatan diatasnya. Selain itu, terdapat ruangan yang dirupakan sebagai gua yang gelap serta ada aliran air mengalir.

Lahannya yang disediakan pemerintah Aceh juga berbatasan langsung dengan komplek kuburan Kerkhoff, namun isi dan kelengkapannya disediakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh.

Sejarah

Museum Tsunami Aceh adalah sebuah Museum untuk mengenang kembali pristiwa tsunami yang maha daysat yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih kurang 240,000 0rang.

Gedung Museum Tsunami Aceh dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman pengelolaan museum. Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang NAD yang membantu penyelenggaraan sayembara prarencana museum

Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami Aceh dari BRR Aceh, Museum ini dibangun dengan 3 alasan: 
1. Untuk mengenang korban bencana Tsunami 
2. Sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda tentang keselamatan
3. Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.

Perencanaan detail Museum, situs dan monumen tsunami akan mulai pada bulan Agustus 2006 dan pembangunan akan dibangun diatas lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sekitar Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk isinya juga berisi berbagai benda peninggalan sisa tsunami.

Sebelum pembangunan dimulai panitia menyelenggarakan lomba design museum dengan Thema "Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)", lomba yang ditutup tanggal 5 Agustus 2007 berhadiah Total Rp 275 juta dengan rincian pemenang I mendapatkan Rp 100 juta, ke II Rp 75 juta, ke III Rp 50 juta dan sisanya Rp 50 juta akan dibagikan sebagai penghargaan partisipasi kepada 5 design inovatif @ Rp 10 juta. Museum Tsunami Aceh dibangun di kota Banda Aceh kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh

Fungsi Museum Tsunami Aceh
1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami. 
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. 
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami. 
4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.

Museum tsunami tak hanya di desain sebagai tempat pembelajaran sekaligus menyimpan sejarah tsunami Aceh. Bangunan yang di desain dengan perpaduan konsep bukit menyelamatkan diri, analogi amuk tsunami, tari saman, cahaya Allah serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban ini juga bisa digunakan sebagai tempat menyelamatkan diri saat tsunami, karena atapnya merupakan ruang terbuka yang luas memang di rancang khusus.


Sumber Artikel Aceh Pedia

Lonceng Cakra Donya

Lonceng yang sangat terkenal di Aceh ini merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang Kaisar Cina kepada Sultan Iskandar Muda pemimpin Kerajaan Aceh pada masa itu. Lonceng ini dibuat pada tahun 1409. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda. Lonceng ini mempunyai tinggi lebih kurang 1,25 meter dengan lebar 0,75 meter. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini juga terdapat tulisan aksara Tionghoa-Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia.

Menurut G.L. Tichelman dalam buku Cakra Donya, De Indische Gids I (1939), lonceng ini dahulu pernah dianggap sebagai barang atau benda keramat oleh sebagian orang Aceh. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini digantung di sebuah pohon di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Lonceng Cakra Donya hingga akhir tahun 1915 masih digantung di pohon ba'gloendong (pohon kuda-kuda) yang letaknya di sebelah timur Masjid Raya Baiturrahman. Asal usul lonceng ini tidak diketahui oleh siapa pun. Anak loncengnya telah hilang dan sejak tahun 1915 tidak ada lagi seorang pun yang pernah mendengar suaranya. 

Pada tanggal 2 Desember 1915, pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk menurunkan lonceng dari pohon ba'gloendong karena khawatir pohon tersebut patah dan lonceng akan rusak, maka lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu diturunkan oleh orang-orang Cina, karena orang menganggap lonceng tersebut berhantu. Menurut cerita, orang Cina yang menurunkan lonceng tersebut sebelumnya meminum arak terlebih dahulu sampai mabuk, baru kemudian berani menurunkan lonceng itu. Setelah penurunan lonceng itu, Banda Aceh dilanda banjir besar. Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1915 datanglah seorang utusan menghadap Gubernur H.N.A Swart memberitahukan bahwa banjir tersebut disebabkan peletakkan lonceng yang tidak pada tempatnya. Atas perintah Gubernur Swart lonceng tersebut kemudian digantungkan di bawah museum Aceh dan banjir pun reda saat itu. Akan tetapi, tahun berikutnya banjir datang lagi. Maka sekali lagi utusan tersebut datang dan mengatakan bahwa peletakannya masih kurang tepat. Seharusnya lonceng tersebut diletakkan terpisah dan tertutup. Swart pun menyetujui dan membuat bangunan khusus untuk menggantungkan lonceng tersebut. Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua ini digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Aceh.
Pada lonceng ini terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina. Simbol-simbol dalam huruf Arab untuk saat ini tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tuangan-tuangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya. Namun sekarang emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadai simbol atau icon khusus Kota Banda Aceh.

Sumber Artikel Visit to Aceh

19 Januari 2013

Teuku Chik di Tiro

Teuku Cik di Tiro yang nama sebenarnya ialah Muhammad Saman, dilahirkan tahun 1836 di Cumbok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ayahnya bernama Syekh Abdullah, guru agama di Garot, dekat Sigli. Ibunya, Siti Aisyah, adalah adik dari Teungku Cik Dayah Cut, ulama terkenal di Tiro. Saman menjalani masa kecilnya di dua tempat, di Garot dan di Tiro. Di tempat-tempat itu ia bergaul dengan para santri. Pelajaran agama mula-mula didapat dari ayahnya dan kemudian dari pamannya. Ibunya mengajarinya menulis huruf Arab. Perhatiannya cukup besar terhadap buku-buku tasawuf karangan Imam Ghazali.

Pelajaran yang diterima dari ayah dan pamannya dirasanya belum cukup. Karena itulah ia pergi belajar pada beberapa guru lain, seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang dan Teungku Cik di Tanjung Bungong. Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di Lamkrak. Pulang dari Lamkrak, ia membantu pamannya mengajar di Tiro.

Pengetahuannya cukup luas. Teungku Cik Dayah Cut, pamannya, mengharapkan agar Saman kelak mampu menggantikannya sebagai guru agama sesuai dengan tradisi keluarga ulama Tiro. Sesudah mengajar beberapa waktu lamanya, Saman berniat menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, terlebih dulu dikunjunginya bekas guru-gurunya untuk memohon doa restu, yang terakhir dikunjunginya ialah Teungku Cik di Lamkrak, tetapi ternyata guru ini sudah meninggal dunia.

Di Lamkrak Saman telah menyaksikan suatu perubahan. Para santri hanya belajar siang hari, pada malam hari mereka turut bergerilya menyerang pos-pos tentara Belanda. Demikianlah suasana perang Aceh melawan penindasan Belanda. Mau tak mau Saman ikut menyertai mereka. Cukup lama ia tinggal di Lamkrak dan hampir saja niat untuk naik haji dibatalkannya.

Pada waktu itu perang Aceh - Belanda sedang memasuki masa suram bagi rakyat Aceh. Daerah Aceh Besar seluruhnya sudah jatuh di tangan Belanda. Pejuang-pejuang Aceh banyak yang bersembunyi di daerah pedalaman, dan tetap melakukan serangan kecil-kecilan yang kurang terorganisasi.

Perang Aceh - Belanda meletus pada tahun 1873. Latar belakangnya ialah keinginan Belanda untuk menguasai daerah Aceh. Walaupun pasukan Aceh berhasil menggagalkan pasukan ekspedisi pertama Belanda, bahkan pimpinan ekspedisi, Jenderal Mayor Kohier tewas, namun mereka tidak mampu menghalau ekspedisi Belanda yang kedua. Istana jatuh ke tangan Belanda, tetapi beberapa hari sebelumnya, Sultan Aceh sudah menyingkir. Ia meninggal dalam perjalanan karena serangan kolera. Kedudukannya digantikan oleh putranya yang masih kecil. Sultan baru dan seluruh keluarga istana lalu menyingkir ke Keumala Dalam, jauh di daerah pedalaman.

Pemimpin-pemimpin Aceh yang terkenal berani, lambat-laun menghentikan kegiatannya. Panglima Polim menghindar dan tidak bersedia ditemui oleh siapa pun. Ia kecewa, karena di dalam kalangan Aceh sendiri timbul perpecahan. Ada pula pemimpin yang memihak Belanda.

Perlawanan semakin surut dan keadaan itulah yang dilihat Saman di Lamkrak. Serangan gerilya yang dilancarkan oleh pejuang-pejuang yang masih setia seperti para santri di Lamkrak itu, namun tidak banyak hasilnya. Sebaliknya justru menyengsarakan rakyat. Bila suatu malam sebuah pos Belanda diserang, tak ayal besoknya Belanda mengadakan pembalasan dengan cara membakar kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Saman menyadari hal itu dan ia mulai berpikir tentang perlunya disusun sebuah kekuatan yang cukup besar. Untuk itu diperlukan persatuan semua golongan, menghilangkan perbedaan faham dan curiga-mencurigai.

Dari Tiro datang pesan bertubi-tubi agar Saman segera pulang. Atas desakan yang kuat dari pamannya, Teungku Cik Dayah Cut, akhirnya Saman kembali ke Tiro. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, ia pun berangkat ke Mekah. Kesempatan berkunjung ke tanah suci dimanfaatkannya untuk bertukar pikiran dengan ulama-ulama terkemuka dan menambah ilmu pengetahuan. Dalam bertukar pikiran itu tak lupa ia membicarakan masalah perang Aceh-Belanda. Ia pun menyibukkan diri membaca buku-buku dan majalah-majalah terbitan negeri luaran yang menguraikan perkembangan dan perjuangan dunia Islam.

Pulang dari Mekah, perhatian Saman tidak sepenuhnya tertumpah kepada tugas-tugas mengajar di pesantren. Pikirannya sewaktu bergerilya di Lamkrak kini muncul kembali. Ia mengetahui pula, bahwa perlawanan rakyat semakin menurun. Kebetulan, pada suatu hari beberapa orang utusan dari Gunung Biram, tempat sebagian kecil gerilya Aceh bermarkas, tiba di Tiro. Mereka mengharapkan, agar salah seorang ulama Tiro bersedia memimpin mereka untuk mengobarkan kembali semangat perang melawan Belanda. Teungku Cik Dayah Cut sudah tua, dan karena itu ia tak mungkin melakukan tugas tersebut. Saman memanfaatkan kesempatan itu.

Ia menyatakan kesediaannya untuk memenuhi permintaan utusan dari Gunung Biram. Niatnya itu mendapat persetujuan dan restu pamannya. Ketika itu Mohammad Saman berusia 44 tahun, berbadan gemuk dan sedikit rabun. Rakyat yang menyangsikan kemampuannya, namun Saman tidak mengindahkan ejekan orang-orang sekitarnya. Dengan ditemani beberapa orang, setelah terlebih dulu menggadaikan sawah untuk bekal, ia pun berangkat ke Gunung Biram.

Kepada anggota rombongan dan juga kepada utusan Gunung Biram ia minta agar kepergiannya dirahasiakan. Tindakan pertama yang dilakukannya ialah menghubungi beberapa orang tokoh yang dianggapnya mampu untuk membantu perjuangannya. Berkat bantuan Tuanku Mahmud, keluarga Sultan Aceh, ia berhasil menghubungi Panglima Polim. Tokoh yang sudah putus asa ini tidak bersedia menerima sembarang orang, namun akhirnya bersedia membantu Mohammad Saman. Ia berjanji akan memerintahkan para ulubalang agar mereka membantu perjuangan, atau sekurang-kurangnya tidak menghalangi rencana Saman. Selain itu dihubunginya pula tokoh lain yang menjanjikan akan memberikan bantuan keuangan.

Tindak selanjutnya oleh Mohammad Saman ialah mengumpulkan pejuang-pejuang yang masih ada dan tersebar di beberapa tempat. Dengan kekuatan itu ia membentuk sebuah angkatan perang yang dinamakan Angkatan Perang Sabil. Diumumkannya bahwa perang yang akan dilancarkan adalah perang sabil melawan kaum kafir.

Di sekeliling Mereu didirikan benteng-benteng pertahanan Senjata-senjata dikumpulkan dan diangkat pula orang yang akan mengepalai tiap-tiap pasukan. Saman pun mengundang Syekh Pante Hulu untuk membantunya. Syekh ini terkenal pandai membacakan syair karangannya sendiri yang berjudul “Hikayat Perang Sabil”. Isinya, anjuran agar rakyat berperang melawan Kaum kafir. Orang yang tewas dalam perang itu akan diterima Tuhan di surga. Pengaruh syair itu cukup besar dan mampu menggerakkan semangat rakyat.

Sementara itu, dalam bulan April 1881, di Banda Aceh dilangsungkan serahterima pimpinan penguasa Belanda dari van der Heyden, yang terkenal bertangan besi, kepada Pruys van der Hooven. Pejabat baru ini ingin menyelesaikan masalah Aceh secara damai. Sultan dibujuk agar mau menjadi raja di bawah perlindungan Belanda. Rencana itu ditentang oleh golongan militer, sedangkan pemerintah di Jakarta tidak pula bersedia menambah biaya perangnya.

Dalam laporan Pruys van der Hooven tanggal 10 Mei 1881, dikatakannya bahwa keadaan di Aceh cukup tenang. Laporan itu membuktikan, bahwa Belanda tidak mengetahui samasekali adanya persiapan-persiapan di sekitar Mereu. Dalam bulan itu pula benteng Belanda di Indrapuri direbut oleh Angkatan Perang Sabil. Belanda terkejut, sedang anak buah Syekh Saman tambah bersemangat. Sesudah merebut Indrapuri, mereka melanjutkan serangan ke Samahani yang berhasil mereka kuasai pada akhir tahun 1881. Sesudah itu menyusul benteng Aneuk Galong. Dengan jatuhnya benteng ini, berarti Belanda sudah jauh mundur ke tengah Aceh Besar.

Syekh Saman merencanakan sehingga pada akhir tahun 1883 Belanda sudah terusir dari bumi Aceh. Rencana itu tidak tercapai, namun dalam tahun 1883 itu sebagian besar daerah Sagi XXII dan Sagi XXV dapat dibersihkan dari pasukan Belanda, sehingga jalan ke Ulehleh terbuka. Belanda mundur dari Aneuk Galong ke Lambaro, dari Sagi XXVII mundur ke Lamyong dan dari Sagi XXV mundur ke Keutapang. Karena kemajuan-kemajuan pasukan Sabil itu, maka Belanda lalu membuat garis konsentrasi atau batas yang kuat untuk menahan serangan rakyat. Garis konsentrasi yang terbentang dari Kuta Pahama hingga Keutapang Dua diperkuat sedemikian rupa hingga barisan Sabil tidak sanggup menembusnya.

Kekuatan Angkatan Perang Sabil telah menjadi kekuatan yang nyata dan yang harus diperhitungkan Belanda dengan sungguh-sungguh. Sementara itu Haji Saman merobah siasatnya dengan maksud menyerang langsung Banda Aceh. Pada tanggal 12 Juni 1882 pasukan rakyat dipecah menjadi tiga bagian dan digerakkan ke Ulehleh, ke Lok Ngha dan di Lamtong. Dari tiga jurusan itulah Banda Aceh akan diserang, tetapi Belanda mengetahui rencana itu. Mereka lalu mengerahkan kekuatan besar untuk menghadang barisan rakyat. Pertempuran sengit berkobar dan Haji Saman terkepung di Gle Tarom.

Waktu pasukan Mayor Rheumpol mau menjebaknya, Haji Saman dan pasukannya telah berhasil melarikan diri ke Krueng Pinang. Pasukan Belanda lalu menyerang Pulau Breuh, namun mengalami kekalahan. Seluruh pasukan dan komandannya tewas. Kemudian dikirim bantuan di bawah komando Kapten Segov, tetapi barisan Haji Saman sudah meninggalkan pulau itu.

Serangannya atas Kutaraja tidak berhasil. Karena kewalahan, maka Belanda merobah siasat dengan memecah belah dan menghasut. Teuku Aris diangkat menjadi panglima perang untuk menghadapi Teungku Cik di Tiro, tetapi usaha itu tidak berhasil sama sekali. Sultan pun dihasut. Kepada Sultan dikatakan, bahwa ia tidak berkuasa lagi. Teungku Cik di Tiro-lah yang menguasai rakyat. Sultan termakan oleh hasutan itu dan dalam bulan April 1884 ia mengeluarkan maklumat, bahwa dia masih menjadi Sultan yang berkuasa. Dalam bulan Agustus 1884 Haji Saman terpaksa membuat pengumuman, bahwa ia tidak bermaksud menduduki singgasana kasultanan, tetapi ia berjuang untuk mempertahankan agama Islam dan mengusir “kafe belanda”. Pesan demikian pun sampai kepada Sultan, hingga Sultan Daud Syah akhirnya menyadarinya.

Dalam tahun 1885 Cik di Tiro mencatat kemenangan dengan berhasil merebut benteng Aneuk Galong. Benteng di Lambaro yang jaraknya hanya 8 km. dari Banda Aceh diserang pula, namun tidak berhasil. Tentara Belanda mundur ke benteng-bentengnya dan tak berani keluar. Banda Aceh dipertahankan dengan sistem benteng-berbenteng, yaitu membangun benteng berlapis-lapis. Untuk merebut Banda Aceh, pasukan Sabil harus merebut beberapa benteng yang dipertahankan sekuat-kuatnya.

Haji Saman lalu menentukan siasat lain. Jalan-jalan ke Banda Aceh ditutup. Rakyat dilarang masuk kota. Rakyat dilarang memasukkan makanan. Di samping itu beberapa pasukan berani mati disusupkan sehingga di dalam kota terjadi beberapa kali orang mengamuk dan membunuh Belanda.
Pada bulan Desember 1885 Pasukan Cik di Tiro mendarat lagi di Pulau Breuh dan Kuala Cangkul untuk menyerang Banda Aceh, namun kali ini pun gagal lagi. Pada tahun 1887 Syekh Saman terpaksa meninggalkan medan perjuangan dan pulang ke Tiro karena paman sekaligus gurunya yang amat mencintainya, Teungku Cik Dayah Cut, pulang ke rakhmatullah.

Ia berziarah ke makamnya dan kemudian kembali ke garis depan pertempuran. Dengan meninggalnya pamannya itu, Haji Saman berhak sepenuhnya menyandang gelar Teungku Cik di Tiro. Tampaknya Belanda tak mungkin mematahkan perlawanan Cik di Tiro dengan kekuatan senjata. Pahlawan Aceh ini hanya mau berdamai bilamana semua orang Belanda masuk Islam. Persyaratan itu dimanfaatkan pula oleh Belanda. Beberapa orang Belanda menghadap Teungku Cik di Tiro untuk menyatakan bersedia masuk Islam, tetapi sebenarnya mereka itu semata-mata datang untuk memata-matai keadaan kekuatan Angkatan Perang Sabil.

Teungku Cik di Tiro menjadi marah setelah mengetahui siasat licik itu.

Di puncak kemarahannya ia berkata: “Saya mau membunuh semua orang Belanda yang ada di negeri ini.” Mendengar ancaman itu Belanda menjadi ngeri. Dengan segala daya upaya mereka mengadakan pendekatan sambil mengurung diri dalam benteng-bentengnya.
Sementara itu, pada tahu 1884 Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye ke Mekah dengan menyamar sebagai dokter mata dan tukang potret bernama Abdul Gafur. Tugasnya mengumpulkan sebanyak-banyak bahan tentang orang-orang Aceh di luar negeri dan mencari hubungan dengan sebanyak mungkin fihak Aceh dan fihak kaum jemaah untuk dapat melemahkan semangat perang di Aceh.

Sepulangnya dari Mekah, pada tahun 1885, ia diangkat menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda. Penyamarannya itu menghasilkan tiga buah buku yang dipakai Belanda sebagai pedoman menghadapi orang Aceh, yaitu buku-buku: 1. Het Mekaansche feest; 2. De Atjehers; dan 3 Nederland en de Islam.

Dengan segala macam cara Belanda lalu mengadakan pendekatan, sebab orang-orang Aceh tidak dapat dihadapi dengan perang saja. Sultan didekatinya hingga ia bernafsu mengadakan perdamaian dengan Belanda dan mencoba mempengaruhi Teungku Cik di Tiro, namun Panglima Sabil itu tetap tidak bersedia dan berkata, “Damai berarti kalah.” Teungku Cik di Tiro tegak tegap seperti baja yang tak dapat ditundukkan oleh apa dan siapa pun. Terhadap orang kuat itu Belanda mencari muslihat secara licik. Mereka menemukan orang yang berambisi menjadi kepala Sagi XXII Mukim. Kebetulan kepala Sagi itu, Panglima Polim Muda Kuala, sudah berusia lanjut. Anaknya yang tinggal dengan Sultan dijanjikan Belanda akan dijadikan penggantinya asal dia dapat membunuh Teungku Cik di Tiro.

Pengkhianat itu meminjam tangan orang lain untuk melaksanakan pembunuhan. Waktu Teungku Cik di Tiro datang di benteng Tui Suilemeng ia pergi ke mesjid. Di sana ia dijamu oleh Nyak Ubit, seorang wanita yang diperalat calon pengganti kepala Sagi XXII untuk meracun Panglima Besar Angkatan Perang Sabil. Nyak Ubit menghidangkan kepada Teungku makanan yang sudah dicampur racun. Setelah memakan hidangan itu tanpa curiga, Teungku Cik di Tiro merasa sakit. Ia dibawa ke benteng Aneuk Galong untuk diobati, namun nyawanya tidak tertolong. Teungku Cik di Tiro wafat pada bulan Januari 1891.

Tidak lama kemudian Panglima Polim pun meninggal dunia. Dengan wafatnya 2 orang pemimpin yang amat kuat dan fanatik itu. Aceh kehilangan tokoh perjuangannya. Perjuangan Aceh padam sementara waktu hingga tampilnya Teuku Umar di medan perjuangan dengan sama-sama gigihnya, namun berbeda caranya. Teungku Cik di Tiro pada hakekatnya tidak terkalahkan oleh Belanda. Wafatnya disebabkan cara Belanda yang licik dan keji. Perjuangan dan jasa-jasanya tercatat dalam sejarah sepanjang masa.

Pemerintah RI menghargainya dan berdasarkan SK Presiden RI No. 87/TK/Tahun 1973 tanggal 6 Nopember 1973, Teuku Cik di Tiro dianugerahi gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan.

Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.

Sumber Artikel Meukeutop

17 Januari 2013

Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka


Bicara GAM (Gerakan Aceh Merdeka), mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Teuku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Teuku Nyak Arief Gubernur di bumi Serambi Mekkah.

Tetapi, tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga, prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang mereka yakin, tanpa RI mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.

Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat. Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI.

Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh. Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi daerah istimewa.



Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).

GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. 

Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.

Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia

Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya, dan dananya?


Masih ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei 2003 lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. 
Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.

Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peureulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.

Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.

Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina - Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom - Aceh Barat dan di Lhokseumawe dan Nisau - Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.


Senjata-Senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung. Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kwitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern dari pada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.

Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh. Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu. Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal total.

Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.

Sumber Artikel Tentang Aceh

TwitterFacebookGoogle Plus

 
Design by ForeGone | Premium Blogger Themes