16 Januari 2013

Kerajaan Poli

Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.
Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indra mengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Sama Indra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, maka sultan Aceh selanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap diperhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat Kerajaan Aceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta ulee balang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Sementara Prof. Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarkan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.

Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.

Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.

Bahkan varthema menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.

Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, sebuah tujuan penelitian tentang dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.

Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”.

Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.

Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.

Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia tinggal selama lima tahun dan tinggal di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian.

Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.

Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.

Kemudian Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.

Selanjutnya dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.

Sumber Artikel Aceh Dalam Sejarah

TwitterFacebookGoogle Plus

 
Design by ForeGone | Premium Blogger Themes