* * *
Alkisah,
di sebuah dusun terpencil di daerah Aceh, hiduplah seorang janda
bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta
Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua ibu
dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan
beralaskan dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan
turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu
benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan
biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan sehari-hari pun mereka
kesulitan.
Untuk
bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi sekam di sebuah kincir padi
milik saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar kaya di dusun
itu. Namun, ia terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala
perbuatannya selalu diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri.
Terkadang ia hanya mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau
dua genggam beras. Beras itu hanya cukup dimakan sehari oleh janda itu
bersama anaknya.
Pada
suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa
ditemani Banta Berensyah, karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat
tiba di tempat itu. Tak seorang pun yang menumbuk padi. Dengan begitu,
tentu ia tidak dapat menampi sekam dan memperoleh upah beras. Dengan
perasaan kecewa dan sedih, perempuan paruh baya itu kembali ke gubuknya.
Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak semata wayangnya yang
sedang terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan tubuhnya
menggigil, karena sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.
“Ibu...! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.
Janda
itu hanya terdiam sambil menatap lembut anaknya. Sebenarnya, hati
kecilnya teriris-iris mendengar rengekan putranya itu. Namun, ia tidak
bisa berbuat apa-apa, karena tidak
ada sama sekali makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang
berada di samping anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan
mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta
Berensyah meminum air dari gelas itu sebagai pengganti makanan untuk
menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air itu, Banta merasa
tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia
menatap wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya
seraya mengusap air mata bening yang keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.
Mulut
perempuan paruh baya itu belum bisa berucap apa-apa. Dengan mata
berkaca-kaca, ia hanya menghela nafas panjang. Banta pun menatap lebih
dalam ke arah mata ibunya. Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya
menangis.
“Bu! Banta tahu mengapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak memperoleh upah hari ini,” ungkap Banta.
“Sudahlah,
Bu! Banta tahu, Ibu sudah berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa
makan. Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar
ucapan Banta Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak
pernah mengira sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini
dianggapnya masih kecil itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa.
Dengan perasaan bahagia, ia merangkul tubuh putranya sambil
meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seolah-olah telah menghapus
segala kepedihan dan kelelahan batin yang selama ini membebani hidupnya.
“Banta,
Anakku! Ibu bangga sekali mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang
kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.
Kasih
sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi semangat baru
kepada Banta Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali
bertenaga. Ia kemudian menatap wajah ibunya yang tampak pucat. Ia sadar
bahwa saat ini ibunya pasti sedang lapar. Oleh karena itu, ia meminta
izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk meminta
beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah memahami perangai
saudaranya yang kikir itu.
“Jangan,
Anakku! Bukankah kamu tahu sendiri kalau pamanmu itu sangat
perhitungan. Ia tentu tidak akan memberimu beras sebelum kamu bekerja,”
ujar Ibu Banta.
“Banta
mengerti, Bu! Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali
paman akan merasa iba melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.
Berkali-kali
ibunya mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi
ke rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun
memberi izin. Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat
ia masuk ke pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras
membentaknya. Suara itu tak lain adalah suara pamannya.
“Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta Berensyah.
“Ah,
persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku
tidak perduli!” saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata
yang lebih kasar lagi.
Betapa
kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh
dari pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya
dengan perasaan sedih dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes
membasahi kedua pipinya.
Dalam
perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar kabar dari seorang warga
bahwa raja di sebuah negeri yang letaknya tidak berapa jauh dari
dusunnya akan mengadakan sayembara. Raja negeri itu mempunyai seorang
putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia bagaikan bidadari yang
menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat halus, putih,
dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus pandang.
Jika ia menelan makanan, seolah-olah makanan itu tampak lewat
ditenggorokannya. Itulah sebabnya ia diberi nama Putri Terus Mata.
Setiap pemuda yang melihat kecantikannya pasti akan tergelitik hasratnya
untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya,
namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus Mata akan
menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian yang
terbuat dari emas dan suasa.
Mendengar
kabar itu, Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung.
Ia berharap dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi
lebih baik. Siapa tahu ia bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas
pulang ke gubuknya untuk menemui ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung
duduk di dekat ibunya. Sambil mendekatkan wajahnya yang sedikit pucat
karena lapar, Banta Berensyah menyampaikan perihal hasratnya mengikuti
sayembara tersebut kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya agar
keinginannya dikabulkan.
“Bu!
Banta sangat sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah
berusaha memberikan yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak
dewasa. Saatnya Banta harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk
Ibu. Jika Ibu merestui niat tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk
mengubah nasib hidup kita!” pinta Banta Berensyah.
Perempuan
paruh baya itu tak mampu lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak
semata wayangnya itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan penuh kasih
sayang.
“Banta,
Anakku! Kamu adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah
menjadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus
berpisah denganmu,” kata perempuan paruh baya itu.
“Tapi,
bagaimana kamu bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di
perjalanan nanti? Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan
sehari-hari pun kita tidak punya,” tambahnya.
“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu. Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,” kata Banta Berensyah.
Setelah
mendapat restu dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat
yang sepi untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah
semalam suntuk berdoa dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat
petunjuk agar membawa sehelai daun talas dan suling miliknya ke
perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan untuk mengarungi laut luas
menuju ke tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu akan ia
gunakan untuk menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas
dan suasa yang dia perlukan.
Keesokan
harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke
rumah pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di kapal pamannya
yang akan berlayar ke negeri lain. Setibanya di sana, ia kembali
dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak malas!” seru sang Paman.
“Paman! Bolehkah Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.
Jakub
tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir
bahwa kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang
hati, ia pun mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu
telah mati, karena tidak akan lagi datang meminta-minta kepadanya.
Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut berlayar bersama pamannya. Begitu
kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta meminta
kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan Nanda bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda dari kapal ini!” pinta Banta Betensyah.
Saudagar
kaya itu pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan Banta
ke laut. Namun sebelum diturunkan, Banta mengeluarkan lipatan daun talas
yang diselempitkan di balik pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan
daun talas itu seraya duduk bersila di atasnya. Melihat kelakuan Banta
itu, Jakub menertawainya.
“Ha... ha... ha...! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!” serunya.
Namun,
betapa terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah
menurunkan Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu
mampu menahan tubuh Banta Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin,
daun talas itu membawa Banta menuju ke arah barat, sedangkan pamannya
berlayar menuju ke arah utara.
Setelah
berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas dihempas gelombang
samudra, Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat pertama kali
menginjakkan kaki di pulau itu, ia terkagum-kagum menyaksikan
pemandangan yang sangat indah dan memesona. Hampir di setiap halaman
rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai motif dan warna
sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah
tukang tenun.
Banta
pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk menanyakan kain emas dan
suasa yang sedang dicarinya. Namun, penghuni rumah itu tidak memiliki
jenis kain tersebut. Ia pun pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya,
dan ternyata si pemilik rumah itu juga tidak memilikinya. Berhari-hari
ia berkeliling kampung dan memasuki rumah penduduk satu persatu, namun
kain yang dicarinya belum juga ia temukan. Tinggal satu rumah lagi yang
belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga tukang tenun.
“Tok... Tok... Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah setelah mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.
Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.
“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.
Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan maksud kedatangannya.
“Maaf,
Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari
emas dan suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?” pinta
Banta Berensyah.
Kepala
kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, apalagi setelah
melihat penampilan Banta yang sangat sederhana itu.
“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa itu? Apakah kamu mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”
“Maaf,
Tuan! Saya memang tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan
berkenan, bolehkah saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah
seraya mengeluarkan sulingnya.
Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki kain tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya kepadanya.
“Banta! Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”
Banta
pun menceritakan alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan
kain tersebut. Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala
kampung itu memenuhi permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun
memainkan sulingnya dengan lagu-lagu yang merdu. Kepala kampung itu
benar-benar terbuai menikmati senandung lagu yang dibawakan Banta.
Setelah puas menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa
miliknya kepada Banta.
“Kamu sangat mahir bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas dan suasa ini,” ujar kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu mengingat semua kebaikan hati Tuan,” kata Banta.
Setelah
mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun meninggalkan pulau
itu. Ia berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya
dengan menggunakan daun talas saktinya. Hati anak muda itu sangat
gembira. Ia tidak sabar lagi ingin menyampaikan berita gembira itu
kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain emas dan suasa itu kepada
Putri Terus Mata.
Namun,
nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di tengah laut, ia bertemu
dan ikut dengan kapal Jakub yang baru saja pulang berlayar dari negeri
lain. Saat ia berada di atas kapal itu, kain emas dan suasa yang
diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh Jakub. Setelah kainnya
dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub membawa
pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri Terus Mata.
Sementara
itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut terdampar di sebuah
pantai dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang mencari
kerang. Sepasang suami-istri itu pun membawanya pulang dan mengangkatnya
sebagai anak. Setelah beberapa lama tinggal bersama kedua orang tua
angkatnya tersebut, Banta pun memohon diri untuk kembali ke kampung
halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun talas saktinya. Setiba
di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan suka-cita.
Kemudian, Banta pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.
“Maafkan
Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan kain emas dan
suasa itu, tetapi Paman Jakub merampasnya,” Banta bercerita kepada
ibunya dengan perasaan kecewa.
“Sudahlah, Anakku! Ibu mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting putri raja,” ujar Ibunya.
“Tapi,
Bu! Banta harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa itu dari Paman.
Kain itu milik Banta,” kata Banta dengan tekad keras.
“Semuanya sudah terlambat, Anakku!” sahut ibunya.
“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya Banta penasaran.
“Ketahuilah,
Anakku! Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini, pesta perkawinannya
dengan putri raja sedang dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.
Tanpa
berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya lalu bergegas
menuju ke tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya di kerumunan
pesta yang berlangsung meriah itu, Banta tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan kepada raja dan sang Putri
bahwa kain emas dan suasa yang dipersembahkan Jakub itu adalah miliknya.
Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya berdoa meminta pertolongan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai berdoa, tiba-tiba
datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar di atas keramaian
pesta sambil berbunyi.
“Klik..
klik... klik... kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!!
Klik... klik.. klik... kain emas dan suasa itu milik Banta
Berensyah...!!!” demikian bunyi elang itu berulang-ulang.
Mendengar
bunyi elang itu, seisi istana menjadi gempar. Suasana pesta yang meriah
itu seketika menjadi hening. Bunyi elang itu pun semakin jelas
terdengar. Akhirnya, Raja dan Putri Terus Mata menyadari bahwa Jakub
adalah orang serakah yang telah merampas milik orang lain. Sementara itu
Jakub yang sedang di pelaminan mulai gelisah dan wajahnya pucat. Karena
tidak tahan lagi menahan rasa malu dan takut mendapat hukuman dari
Raja, Jakub melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan meloncat,
kakinya tersandung di jendela sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah
hingga tewas seketika.
Setelah
peristiwa itu, Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata.
Pesta pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam
dengan sangat meriah. Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja
yang merasa dirinya sudah tua menyerahkan jabatannya kepada Banta
Berensyah. Banta Berensyah pun mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya
di istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia bersama seluruh
keluarga istana.
* * *
Demikian cerita dongeng Banta Berensyah dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Sedikitnya ada dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah di atas. Pertama,
orang yang senantiasa berusaha dan bekerja keras, pada akhirnya akan
memperoleh keberhasilan. Sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku Banta
Berensyah, berkat kerja keras dan kesabarannya, ia berhasil
mempersunting putri raja dan menjadi seorang raja. Dikatakan dalam
tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera
Pelajaran
kedua yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang kaya
yang kikir dan serakah seperti Jakub, pada akhirnya akan mendapat
balasan yang setimpal. Ia tewas akibat keserakahannya. Dikatakan dalam
tunjuk ajar Melayu:
apa tanda orang tamak,
karena harta marwah tercampak