Abad 15 dan 16 adalah
periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatra Timur, dan
semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan
saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan
internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk
perebutan kue ekonomi itu, pada tepian sungai Deli--tepatnya sekitar 9
km dari Labuhan Deli--lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri
Hijau. Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosa
kata kecantikan, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama
berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di
masyarakat Melayu Deli.
Versi kedua adalah hikayat dari
masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling
berlomba menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing. Dari versi
lisan Melayu, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik
jelita di desa Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli).
Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi
kesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga
bagian utara pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dalam
hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara kembar yang dipercaya
adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama
Meriam Puntung.
Alkisah, Ular Simangombus
memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak
pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan
makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya
memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan
baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para
pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu
cepat makmur. Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung
ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas
kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan
langsung dikirim.
Pantun bersahut-sahutan. Tapi
pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia
merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk
segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat
kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya. Menyadari jumlah pasukannya makin
menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh
memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang
emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang.
Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu
berebutan uang emas dan meninggalkan posnya.
Ketika mereka tengah sibuk
memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah
menguasai benteng. Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah
salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena
ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar,
dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke kampung Sukanalu.
Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di
halaman Istana Maimoon Medan. Melihat situasi yang tak menguntungkan,
Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke
atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan
Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka.
Dan hingga sekarang kedua kakak
beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau
Berhala. Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau
sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah
peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh.
Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan
satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas
permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu
telur. Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin
ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari
perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan
rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau
dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala.
Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia
sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang,
cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing
penceritanya.
***
Dalam bukunya, Sejarah Medan
Tempo Doeloe, sejarahwan Tengku Luckman Sinar mencoba menempatkan
legenda Puteri Hijau sebagai salah satu setting sejarah perlawanan
Kerajaan Haru yang berpusat di Deli Tua terhadap serangan Kerajaan Aceh,
sekaligus juga menjadi latar proses terbentuknya etnis Melayu di
Sumatra Timur. Nama Kerajaan Haru sudah dikenal sejak akhir abad 13.
Bukti tertulis pertama yang mengabadikan kerajaan ini adalah catatan
Tiongkok pada tahun 1282 M, tepatnya pada zaman pemerintahan Kubilai
Khan. Catatan itu mengisahkan, Kerajaan Haru mengirimkan utusannya untuk
misi dagang ke Tiongkok. Sedang berdasarkan hikayat Melayu dan hikayat
Raja-raja Pasai, Kerajaan Haru sudah menganut Islam sejak pertengahan
abad 13. Disebutkan, nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad mula-mula
mengislamkan negeri Fansuri (Barus), Lamiri (Lamuri), lalu Haru.
Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka sendiri diislamkan kemudian.
Jadi, dari hikayat ini, Kerajaan
Haru lebih dulu memeluk Islam ketimbang Aceh dan Malaka, meskipun
kemudian Malakalah yang menjadi pusat pengembangan Islam di kawasan
Nusantara. Pada masa tersebut, Kerajaan Haru sudah menjadi salah satu
pemegang peranan penting dalam wilayah perdagangan dunia di Selat
Malaka. Pedagang-pedagang Persia, Portugis, Cina dan Eropa punya catatan
masing-masing tentang wilayah ini, di mana Haru adalah salah satu
kerajaan yang memungut pajak di samping Samudera Pasai dan Malaka yang
kemudian dijajah Portugis. Sebelum akhirnya diserang Kerajaan Sriwijaya
yang ingin mempersatukan Nusantara pada tahun 1275 M, Kerajaan Haru
memiliki satu bandar perdagangan besar di Kota Cina, yang letaknya
antara sungai Deli dan sungai Buluh Cina.
Saat itu, Haru sudah memiliki
hubungan bisnis yang erat dengan Dinasti Sung Selatan. Kapal-kapal
Tiongkok langsung mendatangi bandar ini untuk melakukan perdagangan. Tak
heran bila para peneliti masih menemukan sejumlah koin mata uang Cina
kuno di kawasan ini. Setelah bandar perdagangan Haru dihancurkan
Sriwijaya dalam “Ekspedisi Pamalayu”, masa pemulihannya tak begitu lama.
Karena potensialnya kawasan ini, bandar kembali ramai dan perdagangan
dengan Tiongkok terus berlangsung. Kerajaan Haru malah kian berkembang
pasca penaklukan Sriwijaya. Pedagang Persia, Fadiullah bin Abdul Khadir
Rasyiuddin dalam bukunya “Jamiul Tawarikh” menjelaskan, negeri-negeri
utama di Sumatera pada tahun 1310 M adalah Lamuri, Samudera Pasai,
Barlak (Perlak), Dalmyan (Temiang) dan Haru. Tapi musibah kedua menimpa
Haru ketika tentara Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 M juga tiba dan
menaklukkan daerah ini.
Dalam kronik Negara Kertagama
karangan Mpu Prapanca disebut bahwa di samping Panay (Kerajaan Pane di
Portibi), juga ditaklukkan Kampe (Kompai) dan Harw (Haru). Di hulu
sungai Ular, masih ada kampung bernama “Kota Jawa” dan “Timbun Tulang”
yang menurut legenda di teluk Haru menunjukkan adanya lokasi penimbunan
tulang tentara Majapahit yang mati diracuni gadis-gadis setempat.
Setelah lepas dari cengkeraman Majapahit, Haru kembali berhubungan
dengan Tiongkok. Pada tahun 1412 M, Laksamana Cheng Ho yang diutus
Kaisar Tiongkok mengunjungi pulau-pulau di nusantara, singgah di Haru.
Kunjungan itu mencatat bahwa penguasa Haru kala itu bernama Tuanku
Alamsyah, putra dari Sultan Husin (raja sebelumnya).
Cheng Ho, laksamana legendaris
dari Tiongkok, mengangkut persembahan Haru untuk Tiongkok. Tercatat dua
kali Cheng Ho singgah di Haru. Setelah itu ia tak pernah muncul lagi
karena Tiongkok juga bergolak oleh perang dinasti yang tiada henti.
Sepanjang masa kejayaannya, Kerajaan Haru, Samudera Pasai dan Malaka
(Portugis) adalah tiga serangkai yang kadang berdamai dan kadang saling
bertikai memperebutkan peranan di perairan Selat Malaka. Menurut sejarah
Melayu, pada tahun 1477 M sampai 1488, Haru menaklukkan Kerajaan Pasai
gara-gara sebuah penghinaan yang dilakukan Raja Pasai terhadap utusan
Raja Haru. Tapi Kerajaan Pasai kemudian dibantu Malaka, sehingga
kerajaan ini juga otomatis menjadi musuh Haru. Tapi ketika Raja Malaka
diusir Portugis ke Johor, Raja Haru juga bersahabat dengannya sehingga
membuat iri Kerajaan Aceh.
Pada pertengahan abad 15 itu,
Haru disebut-sebut juga punya niat menghancurkan Pasai di utara dan
Malaka di selatan untuk mengambil alih posisi Sriwijaya zaman dulu. Tapi
niat itu tidak pernah terwujud. Malah Kerajaan Haru terjebak posisi
sulit dan tidak aman karena dikelilingi musuh. Untuk membuat pertahanan
yang kuat, mereka meninggalkan Kota Cina dan ibu kota Haru naik lagi ke
atas sungai Deli.
Pada tahun 1511 M, Portugis
menguasai Malaka dan memperoleh keuntungan besar dari lalu lintas
perdagangan di Selat Malaka. Tapi kemudian Kerajaan Pasai membangun
sebuah bandar perdagangan tandingan di Sabang dengan pajak lebih rendah
dan pelayanan yang lebih bagus. Portugis yang marah-marah, dimanfaatkan
Kerajaan Haru untuk bersama-sama menyerang Pasai pada tahun 1514 M. Tapi
di Pasai, Portugis diusir oleh imperium Aceh yang baru lahir. Haru
sendiri makin rawan, dan terpaksa memindahkan kerajaannya makin ke
pedalaman. Haru adalah kerajaan besar. Kekuasaannya membentang dari
Sungai Rokan hingga Temiang (Aceh Tamiang). Tapi mengapa sejarahnya
seperti tidak meninggalkan bekas? Satu teori mengatakan, kerajaan yang
dibangun oleh etnis bermarga Karo Sekali (Karo asli) ini tidak memiliki
satu proyek kebudayaan selama masa kekuasaannya.
Meskipun memeluk Islam, tapi
mereka bukanlah pusat pengembangan Islam. Ini berbeda dengan Malaka,
Pasai, Sriwijaya, atau Majapahit, yang masing-masing memang
mengembangkan satu pusat pengetahuan dan intelektualisme yang ditandai
adanya tradisi penulisan sejarah. Sebaliknya, Kerajaan Haru tidak
memiliki catatan yang berarti, sehingga keberadaannya sempat tenggelam
dalam teka-teki yang sulit. Sejumlah catatan menyebutkan Haru sebagai
kerajaan bar-bar yang suka bertempur dan membajak kapal-kapal asing di
Selat Malaka. Penulis Portugis, Tome Pires, menggambarkan Haru sebagai
kerajaan terbesar di Sumatera. Rakyatnya banyak, tetapi tidak kaya
karena perdagangan. Mereka memiliki kapal-kapal kencang dan sangat
terkenal karena daya penghancurnya.
Sejak Malaka lahir, Kerajaan
Haru selalu menjadi musuh bebuyutan orang Malaka dan sangat ditakuti.
Mereka merampas rakyat malaka. Tiba-tiba saja orang-orang Haru menyergap
sebuah kampung dan mengambil segala yang berharga. Rakyat Haru disebut
suka berperang. Haru banyak menghasilkan padi, daging, ikan,
buah-buahan, arak, kapur barus berkualitas tinggi, emas, benzoin,
aphotecary’s ignaloes, rotan, lilin, madu, budak-budak, dan sedikit saja
yang pedagang. Mereka memperoleh barang dagangan melalui Pasai, Pedir,
Fansuri dan Minangkabau. Bahkan Haru memiliki sebuah kota pasar budak
yang disebut Arqat (Rantauperapat sekarang). Setelah imperium Aceh
bangkit di akhir kejayaan Pasai, keberadaan Haru makin terancam. Negeri
Aceh yang dulu berulangkali diserangnya ternyata mampu menyatukan diri
di bawah Sultan Aceh bernama Al Qahhar.
Selama abad 16, giliran Sultan
Aceh yang berkali-kali menyerang Haru, sampai akhirnya Haru takluk dan
diperintah oleh perwakilan dan kepercayaan Sultan Aceh bernama Gocah
Pahlawan yang dipercaya sebagai keturunan Raja India yang merantau ke
Nusantara. Gocah Pahlawan adalah penakluk Haru dan pendiri cikal-bakal
Kerajaan Deli. Lalu siapa sebenarnya etnis Melayu? Pada saat kapan
legenda Puteri Hijau muncul? Cerita ini menjadi kian menarik.
***
Legenda Puteri Hijau, bila
dikaitkan dengan sejarah Kerajaan Haru, terbit ketika kerajaan itu
sedang sengit-sengitnya mempertahankan diri dari serangan Imperium Aceh
yang baru terbentuk di bawah Al Qahhar. Mundur ke belakang sedikit,
menurut sejarah Melayu, nama Sultan Haru pada tahun 1477-1488 M adalah
Maharadja Diraja, putera Sultan Sujak yang turun dari “Batu Hilir dikata
Hulu, Batu Hulu dikata Hilir”. Mungkin pada kalimat itu, yang
dimaksudkan adalah “Batak Hilir dikata Hulu, Batak Hulu dikata Hilir”.
Kata “Batak” sengaja dihilangkan karena maknanya bisa mengandung
penghinaan, mengingat nama “Batak” pada saat itu menunjuk pada
pengertian “terbelakang”, orang-orang pedalaman di gunung yang belum
memeluk Islam. Jadi, orang Haru awalnya berasal dari pegunungan, turunan
Batak, yang kemudian masuk Islam menjadi Melayu.
Dengan kata lain, sebagaimana
yang disimpulkan Tengku Luckman Sinar, etnis Melayu sebenarnya bukan
sebuah ikatan genealogis (ras), tetapi ikatan kultur dan agama. Pada
masa itu, yang disebut Melayu adalah semua orang yang masuk Islam.
“Jadi, Melayu sekarang adalah percampuran dari banyak suku, seperti
Batak, India, Aceh, dan masyarakat Johor di Riau. Ikatannya pada kultur
dan agama,” jelas Luckman. Orang-orang Haru yang turun pertama sekali ke
dataran rendah dan memeluk Islam menamakan dirinya Karo Sekali (Karo
asli) yang kemudian menjadi marga tersendiri. Marga itu masih ditemui di
Desa Siberaya, dekat Delitua.
Kata “Haru” sendiri kemungkinan
besar adalah sebutan untuk orang Karo asli ini. Mereka tidak mau
disamakan dengan marga-marga Karo sekarang yang menurut mereka adalah
golongan Karo-Karo (bukan asli). Orang Karo-Karo seperti Tarigan,
Sembiring, Perangin-angin, Sitepu, dan Ginting, baru turun ke Deli pada
awal abad 17 dan membentuk “urung-urung” (daerah kekuasaan berdasarkan
marga dan ikatan keluarga). Penduduk asli Asahan juga mengaku berasal
dari marga Haro-Haro (Karo-Karo). Sementara di Temiang, Rokan, dan
Panai, masih ditemukan suku Haru. Sebagian dari Karo-Karo ini masuk
Islam (jadi Melayu) dan bersama-sama orang Aceh menyebarkan agamanya
sampai ke lereng pegunungan. Mereka juga menikah dengan orang-orang
pesisir dan Aceh.
Bahkan, marga Sembiring konon
adalah orang yang diusir dari Aceh. Nah, dari sini kita sudah bisa
menggambarkan siapa sebenarnya orang Haru dan Kerajaan Haru, tempat
munculnya Legenda Puteri Hijau. Seorang utusan Portugis, Ferdinand
Mendes Pinto, menceritakan selintas tentang masa penyerangan Sultan Aceh
Al Qahhar ke Haru di tahun 1539 M. Penyerangan Aceh itu dilakukan 2
kali, yaitu pada Januari dan November tahun yang sama. Pinto menuliskan,
setelah ia berlayar 5 hari dari Malaka, ia sampai pada sungai Panetican
(Deli), di mana ibukota Haru berdiri. Raja Haru saat itu sedang sibuk
mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng di kiri-kanan sungai.
Letak istana kira-kira satu
kilometer ke dalam. Diduga kuat, lokasi yang dimaksud adalah Delitua.
Apalagi, sisa benteng itu masih dapat dilihat sekarang, dan beberapa
penduduk pernah menemukan mata uang dan peluru emas milik tentara Aceh.
“Haru hanya mempunyai sebuah meriam besar yang dibelinya dari seorang
pelarian Portugis di Pasai. Mendengar akan sampainya armada Aceh, maka
Sultan Haru menyuruh pasukannya mengungsikan wanita-wanita dan
anak-anak, termasuk permaisurinya Anche Sinny (Anggi Sini atau Encik
Sini) ke hutan sejauh 39 km dari ibukota. Kerajaan Aceh banyak sekali
menggunakan serdadu-serdadu bayaran dari Gujarat, Malabar, Hadramaut,
Lanun, dan sebagainya,” tulis Pinto.
Setelah dikepung 17 hari, orang
Aceh berhasil menghancurkan dinding-dinding kubu pertahanan Haru. Tapi
karena banyak korban di pihaknya, maka Aceh memakai siasat menyogok
panglima-panglima Haru dengan uang emas agar mereka mau meninggalkan
penjagaan di benteng utama. Dalam sebuah pertempuran sengit, Sultan Haru
tewas dan Haru takluk. Permaisuri Haru, Anggi Sini, membentuk pasukan
gerilya, tapi tidak berhasil merebut benteng itu kembali. Akhirnya ia
bersama pengikutnya naik perahu dari sebuah sungai dan berlayar menuju
Malaka. Perlu diketahui, perahu pada masa itu umumnya berlambangkan
kepala naga.
Di sana ia disambut baik
Gubernur Portugis, tapi tidak bersedia memberi bala bantuan untuk
merebut Kerajaan Haru. Diam-diam permaisuri bertolak ke Bintan dan
menjumpai Raja Melayu Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II, putera
almarhum Raja Malaka Sultan Mahmudsyah. Permaisuri Haru disambut baik
dan Johor bersedia membantunya merebut benteng Haru dengan satu syarat,
Permaisuri Haru bersedia menikah dengannya. Syarat tersebut bisa jadi
membuktikan bagaimana menarik dan cantiknya Anggi atau Encik Sini,
seorang gadis Karo dari Desa Siberaya. Akhirnya Haru dapat direbut
kembali dari Aceh. Cerita Pinto ini banyak persamaannya dengan Legenda
Puteri Hijau, baik dari segi tahunnya maupun simbol-simbol legendanya.
Penaklukan benteng Haru pada
tahun 1539 M sama dengan penaklukan Puteri Hijau di Deli Tua yang
tertuang dalam Hikayat Puteri Hijau. Kemungkinan besar Anggi atau Encik
Sini adalah Puteri Hijau itu sendiri. Meriam besar satu-satunya yang
dimiliki Kerajaan Haru barangkali merujuk “saudara” Puteri Hijau yang
karena digunakan berkali-kali akhirnya pecah menjadi dua bagian. Sedang
“saudara” naga yang dinaiki Puteri Hijau menuju Selat Malaka punya
kesamaan dengan perahu berkepala naga yang dipakai Anggi atau Encik
Sini.
Setelah itu, Haru masih
berulang-ulang diserang Aceh hingga kemudian takluk oleh Sultan Aceh
pada abad 16. Kekuasaan Aceh di Haru menandai dimulainya babak baru
Kerajaan Ghuri yang kemudian berubah nama menjadi Kerajaan Deli yang
kita kenal sekarang. Ketika Belanda muncul, riwayat Haru makin
menghilang. Akibatnya, sampai sekarang, orang selalu sukar melihat suku
Karo dan Melayu Deli dalam satu kesatuan. Padahal, bangunan Kerajaan
Deli seperti Istana Maimoon saja masih jelas diwarnai oleh ornamen khas
suku Karo. Lihatlah misalnya bangunan tempat Meriam Puntung di
pekarangan Istana Maimoon.
***
Tapi itu adalah legenda versi
Melayu. Bagi orang Karo, versi kepahlawanan Sang Puteri justru dianggap
mengada-ada. Pak Sitepu yang saat ini menjaga perigi yang dipercaya
sebagai tempat pemandian Puteri Hijau menyebut wanita rupawan itu
sebagai aib bagi warga Karo, khususnya Desa Siberaya. Puteri Hijau yang
kemudian dinobatkan sebagai boru Sembiring lahir tanpa ayah. Sebagian
orang menyebut ibunya kawin dengan makhluk gaib, sebagian lagi
menuduhnya berzinah. Karena menanggung aib, Puteri Hijau yang dipercaya
lahir bersama sebuah meriam dan seekor naga, akhirnya memilih pergi dari
Siberaya dan menetap di sebuah pemukiman baru di daerah Delitua.
Sampai kini, tempat pemandian
Sang Puteri masih dijaga dan dikeramatkan. Orang-orang Tionghoa,
beberapa keluarga Kerajaan Deli, dan masyarakat yang meminta sesuatu,
masih acap datang berziarah ke perigi yang memiliki sumber mata air
jernih dan tiada pernah habis ini. Menurut orang Karo, sesungguhnya
mereka adalah penduduk pertama di pesisir timur, sedang orang Melayu dan
Aceh adalah kaum pendatang. “Kalau kami pendatang, kenapa warga Karo
yang justru lebih banyak bermukim di Padangbulan, Delitua, Langkat, dan
daerah pesisir lainnya?” ujar Pak Sitepu.
Ia juga menyebutkan bahwa
nama-nama di daerah pesisir seperti Belawan dan Medan adalah nama-nama
Karo. Belawan dulunya berasal dari “perbelawanan” yang artinya tempat
bersumpah. Di sini orang-orang melakukan sumpah untuk tidak berbuat
sesuatu yang jahat atau melanggar adat. Dulunya, masih kata Sitepu,
banyak orang Karo yang diusir ke daerah pesisir karena melanggar adat di
kampungnya, semisal kawin semarga. Orang-orang tersebut kemudian
berkembang di daerah pesisir, bergaul dengan para pendatang dari Malaka.
Mereka menghilangkan marganya karena malu, dan baru belakangan
memakainya kembali. Sehingga tidak heran bila di pesisir Langkat,
Labuhan Batu dan Tanjungbalai, muncul marga-marga Batak yang sebelumnya
tidak disebut-sebut.
Di tengah warga Karo sendiri,
cerita tentang Puteri Hijau masih terbagi dalam banyak anak versi. Tapi
secara umum, mereka melihat Sang Puteri dari kaca mata negatif dan
merasa bahwa menceritakan legenda Puteri Hijau sama dengan membuka aib
sendiri. Dari sudut pandang ilmu sejarah, cerita lisan versi Karo memang
lebih sulit diterima akal karena tidak memiliki logika runtut
sebagaimana yang dilansir Tengku Luckman Sinar. Namun terlepas dari
kontroversi masa lalu yang sudah sarat dengan kepentingan identitas,
warga Karo dan Melayu masih sama-sama menghidupkan Legenda Puteri Hijau
di hati masing-masing. Perigi Puteri Hijau saat ini dijaga oleh penduduk
Kampung Delitua yang seluruhnya adalah orang Karo. Perkampungan tua ini
terletak sekitar 1,5 km dari Pajak Delitua.
Untuk mencapainya, kita harus
melewati sebuah titi gantung yang menghubungkan kedua bibir sungai Deli.
Selain perigi Puteri Hijau, kampung ini juga dikelilingi benteng berupa
lubang besar yang di sisinya ditanami rumpun-rumpun bambu. Konon,desa
ini tak pernah takluk pada Belanda ketika Kerajaan Melayu Deli sudah
menjalin kerjasama dengan Belanda. Hal itu ditandai dengan tiadanya
tanaman bakau di kawasan Kampung Delitua. Padahal pengusaha Belanda,
Nienhuys, hampir menguasai seluruh areal penanaman tembakau waktu itu.
Tapi bagaimanapun masa lalu Puteri Hijau yang sebenarnya, ada atau tidak
pernah ada, sekeras apa kontroversinya, itu semua justru memperkaya
hikmah yang dikandungnya. Dan yang terpenting, legendanya adalah sebuah
aset wisata.
Sumber Artikel Atjeh Cyber Warrior