27 Januari 2013

Pesawat Dakota RI-001 Seulawah


Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.

Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

Sejarah
KSAU Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Biro Rencana dan Propaganda TNI-AU yang dipimpin oleh OU II Wiweko Supono dan dibantu oleh OMU II Nurtanio Pringgoadisuryo dipercaya sebagai pelaksana ide tersebut.

Biro tersebut kemudian menyiapkan sekira 25 model pesawat Dakota. Kemudian, Kepala Biro Propaganda TNI AU, OMU I J. Salatun ditugaskan mengikuti Presiden Soekarno ke Sumatra dalam rangka mencari dana.

Pada tanggal 16 Juni 1948 di Hotel Kutaraja, Presiden Soekarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.

Latar belakang pembelian dua pesawat Seulawah & Kisah yang Tercecer
Pesawat Seulawah RI-001 merupakan bukti nyata dukungan totalitas yang diberikan Aceh dalam proses persalinan republik ini. Seulawah RI-001 yang merupakan cikal bakal Garuda Indonesia Airways, merupakan instrumen paling penting dan efektif dalam tahap paling awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pada sebuah jamuan makan malam, saat kunjungan nya ke Aceh, tanggal 16 Juni 1948 yang diselenggarakan oleh Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida), di Hotel Atjeh, Banda Aceh, Presiden Soekarno angkat bicara, “saya tidak akan makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul”.

Peserta pertemuan yang terdiri atas saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik. Lalu, salah seorang dari mereka bangun. Seorang pria muda berusia sekitar 30 tahun. Dia saudagar. Namanya M Djoened Joesof. “saya bersedia”, sahut Djoened Joesof yang juga menjabat ketua Gasida. Selanjutnya menyusul kesediaan saudagar lainnya. Alhasil malam itu terkumpul dana yang cukup besar. Presiden Soekarno puas dengan menyungginggkan senyum. Ia lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan.

Adegan jamuan makan malam itu merupakan bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang. Penulis Sejarah, Tgk AK Jakobi mencatatkan peristiwa itu dalam bukunya “Aceh Daerah Modal” (Yayasan Seulawah RI-001, 1992).

Dalam pidatonya di sebuah rapat akbar di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, keeseokan harinya, 17 Juni 1948, Soekarno menyatakan hal itu. ”Kedatangan saya ke Aceh ini khusus untuk bertemu dengan rakyat Aceh, dan saya mengharapkan partisipasi yang sangat besar dari rakyat Aceh untuk menyelamatkan Republik Indonesia ini,” begitu katanya memohon kesediaan Rakyat Aceh untuk terus membantu Indonesia. Di Blang Padang itu pula ia kemudian berujar tentang kontribusi Aceh sebagai daerah modal terhadap berdirinya Indonesia. “Daerah Aceh adalah daerah modal bagi Republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat Aceh, seluruh wilayah Republik Indonesia dapat direbut kembali,” ungkap Soekarno bersemangat.

Ketika Soekarno mengakhiri kunjungannya di Aceh pada 20 juni 1948, dana yang terkumpul untuk pembelian pesawat itu berjumlah 120.000 dollar Singapura dan 20 kg emas. Dana tersebut dihimpun dari masyarakat Aceh oleh Panitia Dana Dakota (Dakota Found) di Aceh yang dipimpin HM Djoened Joesof dan said Muhammad Alhabsyi.

Opsir Udara II Wieko Soepono yang ditugasi membeli pesawat dari hasil sumbangan rakyat Aceh tersebut. Selang tiga bulan kemudian, pesawat berhasil didapatkan, jenis Dakota milik seorang penerbang Amerika Mr JH Maupin di Hongkong. Pesawat dengan kode VR-HEC itu mendarat di Maguwo Padang dan kemudian diregistrasi RI-001. Adalah Presiden Soekarno sendiri yang memberi nama “Seulawah” pada pesawat tersebut.

Pada jamuan makan malam dengan pengusaha Gasida di Hotel Atjeh itu, Presiden Soekarno, Seperti dikutip H. Muhammad TWH dalam satu artikelnya dari buku “Modal Perjuangan Kemerdekaan” yang ditulis TA Alsya, menyampaikan pidato antara lain berbunyi, “Harga satu pesawat Dakota hanya M$ 120.000. Saya belum mau makan sebelum mendapat jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’,” kata Soekarno, yang berhasil membakar semangat para saudagar itu.

Lalu berkat keikhlasan dan ketulusan rakyat Aceh itulah, terkumpul dana dan emas yang cukup untuk membeli pesawat Dakota. Pesawat sumbangan Aceh inilah yang kelak menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dan menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia Airways. Bulan Juni 1948, Soekarno berkunjung ke Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno berkata, “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau”. Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu, pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan emas perak untuk membeli pesawat. Para perempuan Aceh melepas cincin, kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk membeli pesawat yang diberi nama "Seulawah". Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram.

Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti "Gunung Emas".

Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatra, bahkan hingga ke luar negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute Maguwo - Jambi - Payakumbuh - Kutaraja - Payakumbuh - Maguwo.

Di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joy flight bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4 Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6 Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Birma (kini Myanmar).

Petualangan Seulawah

Pesawat RI-001 Seulawah yang terletak di Lapangan Blang Padang Banda Aceh

Pesawat RI-001 Seulawah yang terletak di Bandara Halim Perdana Kusuma

Pesawat RI-001 Seulawah yang terletak di Taman Mini Indonesia.

Seulawah RI-001 di parkir di halaman Anjungan Aceh TMII sejak 1975. Tak banyak yang tahu bahwa pesawat itu adalah replika (tiruan). Sebenarnya ada tiga replika pesawat seulawah RI-001 yang dibuat. Salah satunya yang berada di TMII itu. Satu lagi ditempatkan di Lapangan Blang Padang Banda Aceh sebagai monumuen. Replika terakhir adanya di Museum Ranggon, Myanmar. Pemerintah Myanmar merasa berutang budi kepada Seulawah karena telah ikut menjadi pesawat angkut di negara itu pada 1949. Di negeri itulah untuk pertama kali pesawat yang diregistrasikan RI-001 dikomersialkan pada Pemerintah Birma yang ketika itu sedang menghadapi pemberontakan dalam negeri. Selesai mendapat perawatan di Calcutta, India, seulawah diterbangkan menuju Ranggon, Burma, pada 26 Januari 1949 dan langsung mendapat tugas penerbangan sebagai pesawat carteran dan terlibat dalam berbagai misi operasi militer di negara tersebut. Kegiatan usaha carter pesawat tersebut dilembagakan dan menjadi satu perusahaan penerbangan yang diberi nama Indonesian Airways. Inilah perusahaan penerbangan pertama milik Indonesia yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi Garuda Indonesia Airways.

Selain sebagai pesawat angkut pertama milik Indonesia, Seulawah RI-001 juga sempat menjalani tugas rahasia menyelundupkan senjata, amunisi dan alat komunikasi dari Burma ke Aceh, dengan satu kode melalui pesan radio “….pintu rumah Blangkejren sudah selesai tetapi membawa minuman sendiri….”. yang diterima pimpinan Seulawah RI-001, Opsir Udara (OU) Wiweko Soepono. Itu artinya, bahwa “senjata sudah siap diangkut dan mendarat di Blang Bintang dengan membawa bensin udara sendiri”.

Misi rahasia yang dipimpin Wiweko Soepono ini berhasil sukses. Seulawah mendarat mulus pada malam hari di Blang Padang dengan panduan cahaya obor dan lampu mobil ke landasan. Peristiwa penting ini terjadi pada 8 Juni 1949. senjata yang diselundupkan jenis Brend Inggris. Selang beberapa waktu kemudian dilakukan penyelundupan kedua kali dengan sasaran pendaratan di Lhoknga. Senjata yang dibawa adalah Brend Inggris 6 buah, cadangan laras senjata 150 pucuk dan amunisi. Penyelundupan yang kedua ini pun dilakukan pada malam hari.

Selain dari pada tugas komersil dan penyelundupan senjata, pesawat yang disumbangkan lewat pengumpulan harta pribadi rakyat Aceh ini juga mengantar Indonesia berhasil menembus blokade tentara pendudukan kolonial. Seulawah RI-001 ini lah yang juga membawa tokoh-tokoh bangsa ke dunia Internasional untuk membangun dan menjalin hubungan internasional guna menghasilkan pengakuan dan dukungan kepada Republik Indonesia dalam perjuangan menghalangi nya kembali kolonialisme.

Monumen
Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan, beberapa jenis pesawat terbang generasi tua pun dinyatakan berakhir masa operasinya. Salah satunya adalah jenis Dakota.

Namun, karena jasanya yang dinilai besar bagi cikal bakal berdirinya sebuah maskapai penerbangan komersial di tanah air, TNI AU memprakarsai berdirinya sebuah monumen perjuangan pesawat Dakota RI-001 Seulawah di Banda Aceh.

Pada tanggal 30 Juli 1984, Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani pun meresmikan monumen yang terletak di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh.

Monumen ini menjadi lambang bahwa sumbangan rakyat Aceh sangatlah besar bagi perjuangan Republik Indonesia di awal berdirinya.

SMN di SEULAWAH
RI-001 Seulawah membuka jalur pertama penerbangan Sumatera-Jawa. November 1948 Seulawah digunakan Bung Hatta untuk perjalanan keliling Maguwo-Payakumbuh-Kutaraja. Awal Desember 1948 Seulawah terbang ke Kalkutta India untuk perawatan rutin. Malang dan untung, agresi Belanda terjadi tidak lama kemudian memaksa Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Dari Kalkutta Seulawah terbang ke Rangoon Burma. Selain mulai bisa melakukan penerbangan komersil di negeri orang, Seulawah juga menyimpan sesuatu yang terpendam dalam perutnya. Sebuah radio pemancar dengan callsign-SMN yang meneruskan berita dari Indonesia ke seluruh dunia.

Sumber Artikel Aceh Pedia

26 Januari 2013

Museum Tsunami Aceh


Museum Tsunami Aceh semula akan dibuat berbentuk kapal besar dan dimaksudkan hanya sebagai penyimpanan semua dokumentasi yang terkait dengan bencana alam 26 Desember 2004. Agar generasi penerus Aceh dan Indonesia mengetahui bahwa pernah terjadi peristiwa maha dasyat di bumi rencong ini.

Namun kemudian rencana berubah, Pemerintah Aceh bersama BRR NAD-Nias mengadakan sayembara untuk desain museum tsunami. Setelah menyisihkan 68 peserta lainnya, desain yang berjudul "Rumoh Aceh'as Escape Hill" akhirnya dimenangkan oleh seorang dosen arsitektur ITB, Bandung, M.Ridwan Kamil yang diumumkan pada 17 Agustus 2007.

Museum Tsunami Aceh yang terletak di depan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh ini memiliki tiga lantai, dengan luas setiap lantai sebesar 2.500 meter dan menghabiskan dana hingga Rp60 miliar lebih.

Goresan arsitektur Ridwan Kamil ini, sarat dengan nilai kearifan lokal dan didesain dengan konsep memimesis kapal, seperti hendak mewartakan Banda Aceh adalah kota air alih-alih daratan.

Konsep yang ditawarkan arsitek ini, dengan menggabungkan rumoh Aceh (rumoh bertipe panggung) dikawinkan dengan konsep escape building hill atau bukit untuk menyelamatkan diri, sea waves atau analogi amuk gelombang tsunami, tari tradisional saman, cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban.

Di dalam gedung terdapat kolam luas yang indah dengan jembatan diatasnya. Selain itu, terdapat ruangan yang dirupakan sebagai gua yang gelap serta ada aliran air mengalir.

Lahannya yang disediakan pemerintah Aceh juga berbatasan langsung dengan komplek kuburan Kerkhoff, namun isi dan kelengkapannya disediakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh.

Sejarah

Museum Tsunami Aceh adalah sebuah Museum untuk mengenang kembali pristiwa tsunami yang maha daysat yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih kurang 240,000 0rang.

Gedung Museum Tsunami Aceh dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman pengelolaan museum. Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang NAD yang membantu penyelenggaraan sayembara prarencana museum

Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami Aceh dari BRR Aceh, Museum ini dibangun dengan 3 alasan: 
1. Untuk mengenang korban bencana Tsunami 
2. Sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda tentang keselamatan
3. Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.

Perencanaan detail Museum, situs dan monumen tsunami akan mulai pada bulan Agustus 2006 dan pembangunan akan dibangun diatas lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota provinsi Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sekitar Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk isinya juga berisi berbagai benda peninggalan sisa tsunami.

Sebelum pembangunan dimulai panitia menyelenggarakan lomba design museum dengan Thema "Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)", lomba yang ditutup tanggal 5 Agustus 2007 berhadiah Total Rp 275 juta dengan rincian pemenang I mendapatkan Rp 100 juta, ke II Rp 75 juta, ke III Rp 50 juta dan sisanya Rp 50 juta akan dibagikan sebagai penghargaan partisipasi kepada 5 design inovatif @ Rp 10 juta. Museum Tsunami Aceh dibangun di kota Banda Aceh kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh

Fungsi Museum Tsunami Aceh
1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami. 
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. 
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di daerahnya pernah terjadi tsunami. 
4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi, dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.

Museum tsunami tak hanya di desain sebagai tempat pembelajaran sekaligus menyimpan sejarah tsunami Aceh. Bangunan yang di desain dengan perpaduan konsep bukit menyelamatkan diri, analogi amuk tsunami, tari saman, cahaya Allah serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban ini juga bisa digunakan sebagai tempat menyelamatkan diri saat tsunami, karena atapnya merupakan ruang terbuka yang luas memang di rancang khusus.


Sumber Artikel Aceh Pedia

Lonceng Cakra Donya

Lonceng yang sangat terkenal di Aceh ini merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang Kaisar Cina kepada Sultan Iskandar Muda pemimpin Kerajaan Aceh pada masa itu. Lonceng ini dibuat pada tahun 1409. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda. Lonceng ini mempunyai tinggi lebih kurang 1,25 meter dengan lebar 0,75 meter. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini juga terdapat tulisan aksara Tionghoa-Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia.

Menurut G.L. Tichelman dalam buku Cakra Donya, De Indische Gids I (1939), lonceng ini dahulu pernah dianggap sebagai barang atau benda keramat oleh sebagian orang Aceh. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini digantung di sebuah pohon di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Lonceng Cakra Donya hingga akhir tahun 1915 masih digantung di pohon ba'gloendong (pohon kuda-kuda) yang letaknya di sebelah timur Masjid Raya Baiturrahman. Asal usul lonceng ini tidak diketahui oleh siapa pun. Anak loncengnya telah hilang dan sejak tahun 1915 tidak ada lagi seorang pun yang pernah mendengar suaranya. 

Pada tanggal 2 Desember 1915, pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk menurunkan lonceng dari pohon ba'gloendong karena khawatir pohon tersebut patah dan lonceng akan rusak, maka lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu diturunkan oleh orang-orang Cina, karena orang menganggap lonceng tersebut berhantu. Menurut cerita, orang Cina yang menurunkan lonceng tersebut sebelumnya meminum arak terlebih dahulu sampai mabuk, baru kemudian berani menurunkan lonceng itu. Setelah penurunan lonceng itu, Banda Aceh dilanda banjir besar. Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1915 datanglah seorang utusan menghadap Gubernur H.N.A Swart memberitahukan bahwa banjir tersebut disebabkan peletakkan lonceng yang tidak pada tempatnya. Atas perintah Gubernur Swart lonceng tersebut kemudian digantungkan di bawah museum Aceh dan banjir pun reda saat itu. Akan tetapi, tahun berikutnya banjir datang lagi. Maka sekali lagi utusan tersebut datang dan mengatakan bahwa peletakannya masih kurang tepat. Seharusnya lonceng tersebut diletakkan terpisah dan tertutup. Swart pun menyetujui dan membuat bangunan khusus untuk menggantungkan lonceng tersebut. Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua ini digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Aceh.
Pada lonceng ini terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina. Simbol-simbol dalam huruf Arab untuk saat ini tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tuangan-tuangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya. Namun sekarang emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadai simbol atau icon khusus Kota Banda Aceh.

Sumber Artikel Visit to Aceh

TwitterFacebookGoogle Plus

 
Design by ForeGone | Premium Blogger Themes